Institusi Agama Garda Terdepan Tangkal Radikalisme
Oleh : Siti Fauziah )*
Radikalisme adalah ‘virus’ yang wajib dicegah karena bisa menghancurkan Indonesia. Untuk meminimalisir radikalisme maka institusi agama seperti pesantren perlu menjadi garda terdepan untuk menangkal paham terlarang tersebut.
Sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak, maka wajar jika ada banyak pula pesantren di Indonesia. Dari Sumatera, sampai di Jawa dan pulau lain, pesantren bertebaran, dan menjadi lembaga belajar yang dipercaya oleh banyak orang. Ketika sudah lulus maka santri bisa menjadi ustad, melanjutkan kuliah, atau berwirausaha.
Akan tetapi maraknya pesantren di Indonesia perlu dibentengi agar bisa mencegah radikalisme. Penyebabnya karena santri adalah calon ustad dan bekerja dengan ceramah, dan mendapatkan tempat terhormat di masyarakat. Mereka wajib membantu pemerintah untuk mencegah penyebaran radikalisme. Sebaliknya, jika para santri malah terseret radikalisme, mereka bisa kacau-balau karena menyebarkan hal yang salah.
Wakil Bupati Boyolali Wahyu Irawan menyatakan bahwa para santri juga wajib paham bahwa radikalisme sudah ada di media sosial, sehingga tidak boleh larut dalam euforia Facebook dan Instagram. Waspadalah dan jangan sampai malah terpengaruh oleh kelompok radikal yang dikenal melalui media sosial.
Sementara itu, Pancasila juga diajarkan di pesantren, karena mereka tidak hanya diajarkan ilmu agama dan tatacara beribadah. Pancasila memang wajib diajarkan di lembaga pendidikan di mana saja, karena menjadi jatidiri tiap WNI. Seorang santri wajib memiliki rasa nasionalisme yang tinggi karena mencintai negeri adalah salah satu hal yang baik.
Jika para santri memahami Pancasila maka mereka akan lebih toleran, karena memahami di Indonesia ada banyak suku, bahasa, kultur, dan ada enam keyakinan yang diakui oleh negara. Sehingga ketika santri terjun di masyarakat, tidak akan kaget, karena memang kita hidup di negara yang pluralis.
Toleransi wajib diajarkan karena akan mengajari para santri untuk mencegah radikalisme. Jika mereka penuh toleransi maka akan memahami orang lain dan tidak akan emosi ketika melihat pernak-pernik perayaan umat dengan keyakinan lain. Dengan begitu, akan ada rasa damai yang terpancar, baik saat di pesantren maupun di tengah masyarakat.
Para santri yang dinyatakan lulus, lalu menjadi penceramah, pedagang, mahasiswa, dll. Apapun profesinya maka mereka wajib memberantas radikalisme. Caranya dengan meluruskan yang salah. Misalnya ketika ada hoaks dan propaganda maka akan diperingatkan bahwa itu salah.
Santri-santri bisa berdakwah tak hanya secara langsung, tetapi juga di tempat lain seperti grup WA. Mereka menjelaskan kepada kawan-kawan di grup tersebut bahwa radikalisme salah dan kekerasan tidak akan pernah dibenarkan. Penyebabnya karena nabi sendiri tidak pernah berdakwah dengan cara yang keras, melainkan dengan lemah lembut.
Selain itu, para santri juga berdakwah di atas mimbar jumatan. Isi ceramahnya adalah persatuan dan kesatuan bangsa dan pentingnya untuk memiliki rasa nasionalisme. Sebagai warga negara yang baik, maka jamaah tak hanya rajin untuk salat berjamaah dan mengaji, tetapi juga wajib menghindari radikalisme karena paham itu berbahaya dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pesantren memang jadi benteng yang kuat dalam mencegah radikalisme. Jangan sampai radikalisme tumbuh subur di sana karena menyalahi aturan. Pesantren harus lurus dan nasionalis, karena seorang umat yang taat juga wajib untuk menuruti perintah dari pemerintah. Penyebabnya karena semua aturan dibuat demi kemaslahatan masyarakat.
Para santri yang terjun ke masyarakat sadar bahwa ia jadi sorotan. Oleh karena itu mereka berusaha jadi lebih baik dan berdakwah dengan cara lurus, serta anti radikalisme.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute