Intrik Politik Koalisi Masyarakat Anti Hoax
Oleh : Rizal Arifin )*
Atmosfer Pilpres 2019 semakin meningkat pasca debat Capres kedua kemarin. Peta kekuatan dan kepiawaian kandidat semakin tampak terlihat. Debat sebagai salah satu variabel untuk menentukan preferensi politik masyarakat dinilai berjalan sukses. Kinerja petahana untuk bangsa yang didukung data dan indikator ilmiah ditampilkan. Sekali mendayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Tidak hanya dukungan yang didapatkan namun juga mengedukasi publik atas kritikan oposisi selama ini.
Bukanlah hal serupa dengan petahana, Prabowo Subianto sebagai Capres oposisi justru tidak berhasil mengoptimalkan forum debat sebagai ajang membangun simpati. Berbagai pernyataan dilontarkan tanpa data yang valid. Perbedaan yang kontras dengan pemerintahan periode sekarang pun tidak bisa disampaikan, malah menyepakati capaian dan kebijakan petahana. Kalau memang menyepakati, lalu apa tujuannya jadi Capres? Ketidaksiapan Prabowo menghadapi debat kemarin tampak jelas. Permasalahan aktual terutama yang menyangkut tema debat tidak dikuasai sedikitpun.
Tidak lama berselang usai debat Capres kedua, kelompok yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Anti Hoax melaporkan Capres petahana ke Bawaslu. Mereka melaporkan dugaan kebohongan data yang disampaikan pada debat kemarin. Mereka menganggap argumen petahana sebagai keterangan palsu yang disampaikan di muka umum. Padahal data tersebut telah terverifikasi dari instansi berwenang.
Sangat kuat dugaan ini adalah manuver politik oposisi. Ketakutan kehilangan simpati dan ditinggalkan pendukungnya. Kekalahan telak Prabowo dalam debat dibalas dengan menyebarkan hoax yaitu Capres petahana dianggap menyampaikan keterangan palsu. Pihak oposisi sudah kehabisan akal membendung elektabilitas Paslon nomor urut 01 yang kian meroket. Hoax dengan menuduh lawan meyebarkan hoax dianggap peluru mematikan.
Publik tidak semudah itu mempercayai intrik politik oposisi. Koalisi Masyarakat Anti Hoax yang melaporkan Capres nomor urut 01 ke Bawaslu diduga alat politik oposisi. Keterlibatan Eggi Sudjana dalam laporan tersebut menguatkan kecurigaan itu. Ia adalah Calon Legislatif dari Partai Amanat Nasional yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Sandi. Bahwa ini adalah intrik politik oposisi dengan mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Anti Hoax.
Gelombang hoax tidak pernah ada habisnya diproduksi oposisi. Keyakinan mendongkrak elektabilitas dengan cara tersebut seolah mendarah daging. Bahkan jika dibebankan pidana atas hoax yang disebar kemudian dianggap kriminalisasi. Tindakan ini tidak bisa ditolerir. Tiada tempat di bumi pertiwi bagi politisi yang tidak bermoral. Berbagai hoax yang terjadi beruntun beberapa waktu silam dari kelompok oposisi semakin membuka akal sehat masyarakat Indonesia. Bahwa melanjutkan kepemimpinan dan pembangunan nasional adalah harga mati.
)* Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik