Isu Tenaga Kerja Asing Untuk Jatuhkan Kredibilitas Pemerintah
Anisa Medina (Pengamat Sosial Politik di Jakarta)
Pada 2016, China telah duduk di posisi ke-3 sebagai investor terbesar dengan nilai investasi mencapai USD 2,665 juta atau 9 persen dari total investasi asing di Indonesia. Nilai tersebut naik dari tahun 2015 sebesar USD 628 juta atau 2 persen dari total investasi asing di Indonesia. Peningkatan investasi oleh China tersebut berdampak dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja asal Negeri Tirai Bambu yang hijrah ke Indonesia. Jika investasi dari luar membawa teknologi, hal tersebut juga membutuhkan skil dari pekerjanya.
Indonesia belum banyak memiliki tenaga kerja terampil dan mumpuni sehingga pemerintah memutuskan untuk membuka akses tenaga kerja asing. Tenaga kerja asing (TKA) itu nantinya untuk meningkatan daya saing, investasi sekaligus tenaga kerja Indonesia bisa menimba ilmu dan keterampilan dari TKA. Untuk mengisi slot kekurangan tenaga kerja terampil tersebut, pemerintah terpaksa mengizinkan TKA untuk masuk ke Indonesia. Namun izin yang diberikan pemerintah pun tidak diberikan untuk waktu yang lama. kebutuhan TKA diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, di mana tetap memperhatikan tenaga kerja dalam negeri. Perpres 20/2018 menyebutkan bahwa tidak akan menjadi aturan untuk masuknya TKA tanpa kemampuan alias buruh kasar, dan bahwa keputusan Presiden Jokowi menerbitkan perpres untuk menyederhanakan perizinan di Indonesia yang berbelit-belit sehingga kerap memakan biaya tinggi dan menimbulkan pungutan liar (pungli).
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mencapai 85.974 orang, sementara jumlah tenaga kerja asing asal Cina mencapai 24.804 orang. Cina memang menjadi negara pengirim tenaga kerja asing terbanyak di Indonesia, disusul Jepang (13.540), Korea Selatan (9.521), India (6.237), dan Malaysia (4.603). Data Kemenakertrans menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja asing berada di jabatan profesional (23.869), manajer (20.099), direksi (15.596), konsultan (12.779), dan teknisi (9.144).
Melalui program Nawacitanya, Presiden Jokowi sedang gencar membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Berdasarkan data yang ada saat ini, Indonesia memang masih membutuhkan tenaga terampil agar cita cita membangun Indonesia tercapai. Jika masalah kekurangan tenaga terampil ini berkelanjutan, maka bisa mengancam keberlanjutan perekonomian Indonesia yang saat ini sedang dalam tren yang positif. Salah satu contohnya adalah kurangnya tenaga kerja di bidang Informasi dan Teknologi (IT). Kekurangan tersebut membuat pemerintah akhirnya mengimpor tenaga kerja asing asal India untuk sementara waktu mengisi kekurangan tersebut. Sambil bekerja, para tenaga kerja asal India ini diminta untuk mengajarkan kepada penduduk lokal Indonesia mengenai keahlian-keahliannya di bidang IT. Sehingga nantinya, masyarakat lokal Indonesia bisa menjadi tenaga IT yang terampil di masa mendatang. Didatangkannya tenaga ahli asing juga berdampak kepada penghematan anggaran dari perusahaan dan negara. Karena, satu orang India tersebut nantinya bisa langsung mengajari beberapa orang asal Indonesia agar menjadi tenaga IT yang ahli. Bayangkan, satu tenaga kerja asing akan menciptakan 100 lapangan kerja lokal selain juga meningkatkan ekspor dalam negeri. dengan Thailand yang juga memiliki kemudahan izin tenaga kerja asing, dan dengan jumlah tenaga kerja asing yang 10 kali lipat, ekspornya jauh melebihi Indonesia.
Narasi akan tenaga kerja asing yang merebut lapangan pekerjaan tampaknya menjadi kecemasan utama yang muncul dalam perdebatan di masyarakat dan di media sosial saat ini. Isu tersebut rupanya hanya dimanfaatkan kelompok kepentingan tertentu guna menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun hal tersebut tentunya tidak perlu dikhawatirkan karena sudah ada aturan ketat serta kendali dari pemerintah untuk mengawasi pekerja asing di Indonesia. Pekerja lokal tentu tidak perlu khawatir karena pemerintah juga tetap memperhatikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan yang layak.