Jelang Pemilu 2024, Analis Dorong Parpol Baru Berikan Narasi Politik yang ‘Segar’ dan Berbeda
Pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Imron Cotan, menyampaikan, partai politik (parpol) baru atau nonparlemen dihadapkan pada pertarungan elektoral yang sengit melawan parpol yang sudah eksis sebelumnya. Sementara ceruk suara pemilih semakin menyempit di kisaran 15 persen.
Imron menjelaskan, untuk bisa merebut dukungan pemilih dan lolos electoral threshold, parpol baru dan nonparlemen ditantang untuk bisa menghadirkan gagasan baru dan segar. Hal itu sekaligus menawarkan solusi bagi persoalan yang dihadapi generasi milenial dan gen Z, yang jumlahnya sekitar 50 persen dari 206 juta pemilih, merujuk data BPS 2022.
Menurut Imron, Penonjolan tokoh lokal berwawasan nasional dan global juga penting untuk memecah dominasi elit politik yang tertumpuk di kota-kota besar di Pulau Jawa. Kontestasi 2024 membuka peluang tersebut.
“Hal penting yang perlu dicatat adalah Generasi Milenial dan Generasi Z, terdeteksi tidak memiliki pilihan ideologi yang “fixed”, selain terpaku pada gadget. “Jika mampu menarik dukungan generasi muda tersebut memanfaatkan gadget, parpol baru memiliki potensi untuk menyundul eksistensi parpol yang telah lahir lebih dahulu”, ujar Prof. Imron pada Webinar Nasional Moya Institute bertema “Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024”, Jumat, 21 Juli 2023.
Ditempat yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan menguraikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh Parpol Baru.
Pertama, partai-partai politik dihadapkan pada Party ID (identitas partai) yang rendah. Kedua, volatilitas parpol tinggi di tingkat provinsi, namun cenderung rendah di tingkat nasional.
“Jadi ada kecenderungan lebih dari 50%, pemilih akan memilih partai yang sama di pemilu 2024,” ujar Djayadi dalam Webinar Nasional yang digelar Moya Institute, Jumat 21 Juli 2023.
Ketiga, minat pemilih untuk mendukung partai baru cenderung turun. Performa partai baru paling tinggi terjadi di tahun 2004.
“Total suara partai baru di 2004 itu 21,3 persen, hanya kalah dari Golkar yang memperoleh 22 persen lebih. Jumlah itu, turun jadi 7,2% di 2009 dan seterusnya,” ungkap Djayadi.
Keempat, jumlah partai yang masuk di parlemen dalam beberapa kali pemilu cenderung stabil. Artinya pilihan orang cenderung stabil ke partai-partai yang sama.
“Usia rata-rata partai di atas 15 tahun. Hanya dua partai yang usianya 10 tahun lebih. Artinya partai-partai di DPR akan bertahan. Ini mempersulit partai baru untuk masuk.”
Kelima, parpol baru belum dikenal luas di publik. Partai baru, menurut Djayadi, hanya punya popularitas sekitar 60 persen untuk menopangnya masuk parlemen. “Upays sosialisasi partai menjadi kunci. Masalahnya adalah waktu tinggal kurang dari tujuh bulan. Perlu mempercepat kedikenalan partai oleh masyarakat,” kata dia.
Keenam, semua partai politik memiliki kecenderungannya yang sama soal kebijakan ekonomi, politik, dan sosial. Parpol-parpol belum mampu saling membedakan diri dalam persoalan tersebut.
“Itulah yang menyebabkan pilihan terhadap partai menjadi stabil. Yang membedakan antar partai saat ini hanya soal bagaimana hubungan Islam dan politik. Pertanyaannya, partai baru mau main di ceruk mana?” kata Djayadi.
Meski begitu, Djayadi menyimpulkan bahwa masih ada peluang bagi parpol baru dan parpol nonparlemen untuk lolos threshold.
Sekjen DPP Partai Gelora Mahfudz Siddiq mengemukakan, ada konsekuensi yang diterima parpol baru dengan ditetapkannya secara bersamaan pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2023. Dia menyebut, perhelatan secara bersamaan membuat perhatian masyarakat secara besar lebih terkonsentrasi pada pilpres ketimbang membahas figur yang akan lolos ke parlemen.
“Parpol yang punya capres lebih diuntungkan sebab dapat mendongkrak elektabilitas partainya, berbeda dengan parpol baru. Hal ini menuntut upaya ekstra parpol baru untuk melakukan sosialisasi. Salah-satunya caranya memang ikut-ikutan meng-endorse capres tertentu,” ucap Mahfudz.
Ketua Harian Partai Perindo Tuan Guru Bajang Zainul Mazdi menyebut, di tengah berbagai tantangan yang ada, parpol baru masih memiliki peluang dan kesempatan besar untuk dapat lolos ke parlemen atau meraih kursi di DPR.
“Contoh partai saya sendiri Perindo yang dalam 1,5 tahun terakhir mengalami elektabilitas naik dan itu terus meningkat hingga saat ini. Hal ini membuktikan penerimaan publik terhadap parpol baru terus ada. Apalagi Perindo menjalankan program-program yang langsung menyentuh kehidupan kalangan bawah, pungkas TGB.