Jokowi Anti Islam, Antara Persepsi dan Politisasi?
Beberapa tokoh yang pernah mengaitkan Jokowi dan Anti Islam ialah Fahri Hamzah seorang politik dari partai PKS
Penulis : Ahmad Harris*)
Pasca berkembangnya kasus penistaan agama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Jokowi kerap disebut sebagai Presiden yang anti terhadap Islam. Tak dapat dipungkiri, kasus Ahok yang membawa surat Al-Maidah 51 dalam kampanyenya, memang membawa dampak yang cukup besar terhadap sejumlah kelompok agama di Indonesia. Mulai dari demonstrasi hingga seruan melalui media sosial guna menuntut Ahok mendapatkan proses hukum yang sesuai.
Tentu, penyampaian tuntutan tersebut merupakan hak yang dapat dilakukan setiap warga negara Indonesia selama tidak menimbulkan aksi yang berujung anarkis. Sayangnya, dalam beberapa kesempatan menuntut Ahok untuk dipenjarakan, tak jarang Presiden Jokowi diseret hingga dituding sebagai salah satu pendukung penista agama oleh berbagai pihak. Alasannya, tak lain karena masyarakat menilai pemerintah sangat lamban bahkan cenderung mengintervensi dalam menangani kasus Ahok. Sehingga lambat laun, stigma pendukung penista agama tersebut mulai bergeser menjadi isu Jokowi yang Anti Islam.
Tudingan intervensi Jokowi terhadap kasus Ahok cenderung ganjil, apabila kita melihat hasil akhir dari pengadilan. Tepatnya, di tanggal 9 Mei 2017, Ahok resmi divonis 2 tahun penjara atas kasus tindak pidana penodaan agama. Berdasarkan hasil putusan pengadilan, Ahok memenuhi unsur 156a KUHP yang berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Melalui keputusan tersebut, dapat terlihat bahwa sejatinya tidak ada intervensi hukum yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Jika terdapat intervensi hukum, seharusnya Ahok divonis bebas oleh pengadilan atau paling tidak, hukuman ringan 1 tahun penjara saja. Namun kenyataan yang terjadi berbanding terbalik, hakim bahkan memberikan vonis yang jauh lebih berat. Hal ini secara jelas menunjukkan sikap independen dan profesional dari hakim untuk mengadili keputusan tersebut sesuai penilaiannya terhadap Ahok.
Keputusan akhir hakim atas kasus Ahok seharusnya menjadi pertanyaan kembali bagi masyarakat apakah Jokowi memang sosok yang anti terhadap Islam? Terlebih, sejak Ahok divonis hingga habis masa tahanannya, persepsi Jokowi Anti Islam masih saja terus berkoar-koar di penjuru media sosial. Hal ini lantas membuat saya bertanya-tanya, apakah stigma Jokowi Anti Islam hanya sebuah persepsi atau justru politisasi belaka?
Beberapa tokoh yang pernah mengaitkan Jokowi dan Anti Islam ialah Fahri Hamzah seorang politik dari partai PKS. Dalam cuitannya melalui twitter, ia mengatakan “Di antara #Dosa2Jokowi yang besar adalah karena membiarkan berkembangbiaknya elemen #AntiIslam dan #Islamophobia melalui medium konflik ideologi.” Selain itu, Ismail Yusanto, juru bicara organisasi terlarang eks-HTI, juga pernah mengatakan bahwa rezim yang berkuasa saat ini adalah rezim anti Islam dan represif karena sikap penolakan pemerintah terhadap ormas Islam. Jika dilihat dari tokoh-tokoh tersebut, sedikit banyak dapat dinilai bahwa keduanya memiliki kepentingan untuk menyudutkan Presiden Jokowi baik untuk kepentingan politik maupun kepentingan organisasinya.
Dengan demikian, meski saya tidak bisa menyatakan langsung stigma Jokowi Anti Islam merupakan upaya politisasi dari pihak kepentingan tertentu. Tetapi, masyarakat sudah dapat menilai langsung melalui pandangannya masing-masing, apakah tudingan Jokowi Anti Islam merupakan sebuah persepsi atau justru bagian upaya politisasi pihak tertentu. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip pernyataan Azyumardi Azra, Cendekiawan muslim, “Sudah jelas sekali narasi anti-Islam terhadap Jokowi tidak berdasar dan banyak didasarkan pada kepentingan politik untuk menciptakan narasi yang manipulatif. Oleh karena itu, hentikan.”
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung