Polemik Politik

Hindari Politik SARA dan Politik Identitas Guna Ciptakan Pemilu Damai

Oleh : Doni Ramadan )*

Politik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), adalah praktik politik yang tidak etis dan dapat membahayakan kesatuan sosial dan stabilitas masyarakat. Politik SARA mencakup memanipulasi atau memanfaatkan perbedaan-perbedaan identitas seperti suku, agama, ras, atau kelompok sosial tertentu untuk tujuan politik atau pemilihan umum. Hal ini merupakan taktik yang sering digunakan oleh beberapa politisi atau kelompok untuk memperoleh dukungan atau mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih substansial.
Politik SARA biasanya dianggap sebagai praktik yang tidak etis dalam politik, karena mereka dapat mengancam kesatuan sosial, memicu konflik, dan merusak proses demokrasi. Banyak negara memiliki Undang-Undang dan peraturan yang melarang kampanye politik berdasarkan faktor-faktor SARA, dan pelanggaran dapat mengakibatkan sanksi hukum.
Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) penting untuk mengutamakan kampanye politik yang berlandaskan pada ide, program, dan visi politik, daripada mengandalkan isu-isu SARA. Prinsip-prinsip demokrasi yang sehat mencakup penghargaan terhadap pluralisme, toleransi, dan dialog yang konstruktif antara berbagai kelompok masyarakat.
Menghindari politik SARA adalah langkah penting dalam memastikan bahwa proses politik dan demokrasi berjalan dengan baik dan menciptakan masyarakat yang harmonis. Berikut adalah beberapa alasan mengapa menghindari politik SARA adalah hal yang sangat penting.
Pertama. Mempertahankan Kesatuan Sosial. Politik SARA seringkali dapat memecah-belah masyarakat berdasarkan perbedaan identitas seperti suku, agama, atau ras. Hal ini tentunya dapat mengancam kesatuan sosial dan menciptakan konflik dalam masyarakat.
Kedua. Meningkatkan Toleransi dan Keragaman. Menghindari politik SARA membantu masyarakat untuk lebih menerima dan menghargai keragaman dalam masyarakat. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis jelang Pemilu 2024.
Ketiga. Fokus pada Isu-isu Substansial. Politik yang berfokus pada isu-isu substansial, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, lebih mungkin untuk mencapai solusi yang memadai daripada kampanye yang hanya berdasarkan faktor-faktor SARA. Selain itu, berfokus pada isu substansial dapat menjadikan proses Pemilu lebih bermartabat dan juga berintegritas.
Keempat. Mendorong Partisipasi yang Beragam. Menghindari politik SARA dapat mendorong partisipasi politik yang lebih beragam, di mana masyarakat lebih terlibat berdasarkan pemahaman ideologi dan program politik daripada identitas pribadi.
Kelima. Memelihara Demokrasi yang Sehat. Politik yang berlandaskan pada isu-isu dan visi politik akan mendukung demokrasi yang lebih sehat dan transparan, sementara politik SARA cenderung hanya akan merusak demokrasi.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam mencegah beberapa isu-isu yang sedang mencuat di khalayak. Terutama pada isu-isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan.
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya, M Febriyanto Firman Wijaya mengatakan pemilihan umum yang selama ini dilakukan memang sering di warnai dengan beberapa isu yang kurang mengenakkan, salah satunya isu SARA. Oleh karena itu, dengan waktu beberapa bulan ini perlu kita cegah beberapa isu tersebut yang mulai mencuat kembali agar potensi gangguan dapat diantisipasi. Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, masyarakat harus cerdas menghindari dan mencegah isu-isu SARA karena dapat memecah belah persatuan, mengganggu stabilitas politik, serta mengancam keharmonisan bangsa.
Selain itu, isu SARA juga harus dihindari sepenuhnya dalam perdebatan politik. Jangan biarkan perbedaan dalam suku, agama, ras, atau latar belakang menghalangi masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang baik. Sebagai peserta Pemilu, masyarakat harus memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, integritas, dan program kerja mereka, bukan berdasarkan faktor SARA. Serta mengevaluasi calon berdasarkan rekam jejak mereka dan visi mereka untuk masa depan Indonesia. Politik SARA umumnya dilakukan di ruang publik seperti media sosial. Beberapa bentuk tindakannya yakni menyebarkan foto hingga video hoaks untuk menjatuhkan lawan politik.
Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lolly Suhenty mengatakan media sosial yang paling sering digunakan untuk melakukan kampanye bermuatan SARA, hoaks dan ujaran kebencian adalah Facebook, WhatsApp dan Twitter. Adapun konten kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial yang paling dominan adalah foto, video dan link berita yang ditambahkan dengan narasi yang intimidatif dan dibuat sedemikian rupa sehingga seakan-akan mengancam. Modusnya adalah untuk mendapatkan dukungan atau simpati yang lebih besar, menyerang lawan dan mendelegitimasi proses atau hasil Pemilu.
Lolly menilai kampanye bermuatan SARA, kabar bohong, dan ujaran kebencian via media sosial dapat menjadi penyebab terjadinya polarisasi, bahkan konflik masyarakat di dunia nyata. Sehingga hal tersebut tentunya dapat menjadi ancaman serta mengganggu jalannya pelaksanaan Pemilu 2024.
Oleh sebab itu, untuk memastikan proses politik yang sehat dan mendukung demokrasi yang kuat, penting bagi masyarakat untuk menghindari dan menentang politik yang memainkan isu-isu SARA. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk mempromosikan politik yang berlandaskan pada argumen dan ideologi, serta untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Karena hal ini akan membantu membangun masyarakat yang lebih kuat dan damai, serta menjadikan pesta demokrasi 2024 lebih bermartabat dan berintegritas.

)* Penulis adalah Pengamat Politik Dalam Negeri

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih