Jokowi dan Prabowo Tempuh Rekonsiliasi Yang Mengejutkan
Oleh : Anggito Lazuardi )*
Masyarakat Indonesia cukup terkejut dengan pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo yang berlangsung penuh dengan kehangatan. Harapan yang ditunggu – tunggu akhirnya terwujud.
Kita semua tahu bahwa sejak pilpres 2014 dan 2019, kedua tokoh tersebut seakan menjadi pintu ketegangan masyarakat hingga akhirnya polarisasi antar kedua kubu sulit untuk dihindarkan, istilah cebong dan kampret pun santer di sosial media. Tentu istilah tersebut tidak semestinya ada dalam kamus politik kita.
Meski keduanya bertarung secara sengit dalam merebut suara rakyat, Prabowo dan Jokowi tetap menunjukkan itikad baik untuk tetap menjaga hubungan persahabatan antara keduanya.
Kini Pemilu 2019 telah berlalu, pintu islah atau rekonsiliasi telah terbuka, menurut KBBI islah dapat berarti perdamaian atau penyelesaian pertikaian. Sedangkan rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persabahatan pada keadaan semula atau perbuatan untuk menyelesaikan perbedaan.
Dalam konteks relasi sosial, islah dapat menghindarkan adanya fasad (kerusakan moral) dan anarki di tengah khalayak ramai. Secara garis besar, dalam urusan islah ini, kita memerlukan rekonsiliasi politik dan reharmonisasi hubungan sosial kemasyarakatan. Jikalau dua hal itu tercapai niscaya carut marut wajah masyarakat kita sebagai ekses konstestasi pemilu yang sangat keras pada beberapa waktu lalu, dapat segera dipulihkan.
Rekonsiliasi politik dapat dicapai melalui proses perdamaian dan reharmonisasi hubungan diantara kelompok – kelompok politik yang bertikai. Dalam hal ini, kedua kelompok harus berkomitmen untuk membangun rasa saling percaya dalam semangat siap berkolaborasi.
Jika kedua tokoh tersebut sudah saling berjabat tangan dan berpelukan, tentu sudah tidak ada lagi saling mengejek satu sama lain. Tidak ada lagi kezaliman dan hoax politik yang menyesatkan.
Sementara itu, rekonsiliasi sosial – kemasyarakatan dilakukan melalui proses pendinginan suasana, pengurangan intensitas perseteruan politik secara terbuka dan mengedepankan semangat kerjasama.
Jika hal tersebut dapat diwujudkan dengan baik, maka masyarakat akan disuguhui sebuah pertunjukan hubungan antar kekuatan politik yang harmonis dan tanpa syak wasangka, dan bagaimanapun juga pertunjukkan itu memerlukan sikap rendah hati dan kebesaran jiwa para pelakunya.
Kontestasi seakan harus dibayar dengan mahar yang tidak sedikit, pesta demokrasi tersebut telah melahirnya konflik horizontal tidak hanya pada kalangan elite, tetapi juga sampai pada akar rumput masyarakat yang paling bawah. Berita fitnah seakan muncul hampir setiap hari. Narasi anti agama dan komunisme juga berseliweran dimana – mana.
Hal tersebut tentu merupakan landasan bahwa upaya rekonsiliasi menjadi sesuatu yang urgent. Semata – mata untuk meredakan ketegangan politik diantara para pendukung kedua kubu. Bukan untuk bagi – bagi kekuasaan (power sharing) sebagaimana jamak terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia saat ini.
Narasi yang digemakan oleh Jokowi dan Prabowo cukup membuat panasnya suhu politik mereda. Narasi cebong dan kampret sudah semestinya dibuang jauh – jauh setelah Prabowo dan Jokowi saling berpelukan layaknya kawan lama. Kita saat ini bukanlah pihak 01 atau 02, namun kita semua berada dalam naungan merah putih untuk merajut persatuan yang sempat terkoyak.
Meski keduanya sudah bertemu guna menstabilkan suhu politik di Indonesia, hal tersebut ternyata tidak membuat semua masyarakat yang ada di akar rumput mengikuti arahan dari Prabowo. Bahkan Pertemuan Prabowo dengan Jokowi di MRT diklaim bahwa Prabowo telah berkhianat karena bertemu dengan presiden yang menurut mereka hasil dari sebuah kecurangan.
Kondisi tersebut tentu tidak dapat dibiarkan secara terus – menerus dan berkepanjangan. Karena jika dibiarkan maka persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Oleh karena itu rekonsiliasi juga tidak hanya di kalangan elite saja, tetapi juga sampai pada akar rumput.
Hal ini tentu bisa kita mulai dari diri kita sendiri, kita harus ingat bahwa membangun Indonesia tidak hanya tugas Presiden saja, tetapi kita juga bisa mengambil bagian dalam memajukan pembangunan di Indonesia, salah satunya adalah dengan bergaul kembali dengan teman atau rekan yang sebelumnya berbeda pilihan agar suasana pertemanan menjadi mencair.
Ketegangan politik memang wajar terjadi ketika menjelang pemilihan, namun saat ini KPU, Bawaslu dan MK juga telah menunjukkan putusannya, jika kita hanya bisa protes, lalu kapan kita turut serta dalam membangun bangsa, masa kita sesama warga Indonesia mau marah – marahan terus.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik