Jokowi dan Tionghoa
Oleh : Fajar Riza Ul Haq (Dewan Pembina Maarif Institute for Culture and Humanity)
Persepsi tokoh-tokoh Muslim terhadap negeri Deng Xioping itu relatif bersahabat, tak berbeda dengan Arab Saudi. Mereka tak menaruh kecurigaan terhadap kebijakan-kebijakan luar negeri China yang berpotensi mengganggu kepentingan domestik Indonesia. Di mata para tokoh agama ini, Amerika dan China sama-sama tak memiliki komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Kemudahan para pemuka ormas Islam mengakses informasi beberapa kebijakan Amerika, terutama dalam konteks Islam dan terorisme, dibandingkan dengan minimnya akses mereka terhadap kebijakan China menjadi salah satu penjelasan atas perbedaan opini tersebut. Hal ini salah satu temuan penelitian Maarif Institute pada 2009 dengan tujuan membaca persepsi tokoh-tokoh organisasi Islam terhadap kebijakan luar negeri beberapa negara, seperti AS, Australia, China, dan Arab Saudi (Ul Haq, 2017: 233).
Namun, belum sampai satu dekade berlalu, kita mendapati sentimen anti-China dan anti-Tionghoa direproduksi bahkan dipabrikasi secara masif dalam percakapan sehari-hari di ruang publik, utamanya media sosial. Sebagian besar produk pabrikasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan dan berita bohong. Tabloid Obor Rakyat secara terbuka menyebar berita bohong (hoaks) Jokowi keturunan Tionghoa dan berasal dari keluarga komunis pada masa kampanye Pilpres 2014. Narasi dusta ini diciptakan untuk merontokkan daya elektoral dan membunuh karakter mantan gubernur DKI Jakarta ini.
Setelah terpilih, tuduhan menistakan itu tak surut menghantam Jokowi. Pemerintahannya terus menghadapi kritik ke- ras bertubi-tubi hingga serangan politik hitam menyesatkan: pemerintahannya merepresentasikan kepentingan China dan berpihak pada kelompok Tionghoa.
Pihak-pihak yang kecewa dan marah kepada pemerintahan Jokowi-Kalla memproduksi narasi-narasi ancaman penjajahan ekonomi dan kolonisasi jutaan orang China ke Indonesia. Beberapa proyek pun disimbolisasikan sebagai bukti ancaman kolonisasi, seperti keberadaan ribuan tenaga kerja asal China di Morowali, pembangunan Meikarta, dan pulau reklamasi. Tampaknya sejumlah elite kontra pemerintah, baik yang bergerak di partai ataupun di perkumpulan, menikmati warisan propaganda Orde Baru yang diawetkan dan direproduksi, yakni diskursus anti komunis, anti-Tionghoa, dan anti-Islam (Islamophobia). Masyarakat pun kian terpolarisasi, terbelah, dan terpolitisasi.
Penelitian Saiful Mujani Research and Consulting pada akhir 2016 mengungkap ada lima kelompok yang paling tak disukai masyarakat: Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS (25,5 persen), LGBT (16,6 persen), komunis (11,8 persen), dan Yahudi (5,0 persen). Sentimen negatif terhadap Tionghoa hanya 0,8 persen. Dalam rentang periode 2001-2016, sentimen negatif terhadap kelompok minoritas agama (Kristen/Katolik) dan etnis Tionghoa bersifat konstan, stagnan. Penurunan signifikan terjadi pada sentimen antikomunis dalam kurun waktu 15 tahun, dari 59 persen (2002) ke 11,8 persen (2016). Temuan ini memperlihatkan pabrikasi sentimen antiTionghoa dan komunis lebih dideterminasi faktor politik dan kreasi elite untuk menarik massa sebagai basis pendukung.
Tidak Monolitik
Leo Suryadinata memetakan sikap masyarakat Tionghoa dalam relasinya dengan China ke dalam tiga pandangan. Pertama, kelompok yang ingin memelihara ikatan politik dan budaya dengan China. Kedua, kelompok yang hanya ingin mempertahankan ikatan budaya dengan China. Ketiga, kelompok yang berusaha memutuskan ikatan politik dan budaya dengan tanah leluhurnya. Namun, pandangan pertama tak memiliki basis di Indonesia.
Saat berpidato di Sidang Paripurna Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 11 Juli 1945, Liem Koen Hian, pemimpin Partai Tionghoa Indonesia yang berdiri 1932, mendesak agar orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dideklarasikan sebagai WNI di dalam UUD yang akan disusun. Partai ini merupakan penyokong nasionalisme di kalangan Tionghoa peranakan dan mendukung kemerdekaan Indonesia (Suryadinata, 2005: 119).
Menurut Karen Strassler, keterlibatan Tionghoa peranakan dalam proses pembentukan bangsa Indonesia merdeka telah melahirkan kerja sama lintas etnis sehingga asal-usul bangunan bangsa ini berakar pada kosmopolitanisme (Heryanto, 2018: 227). Posisi Tionghoa peranakan setara dengan keturunan bangsa Arab, India, dan Jepang. Politik represif Orde Baru telah membekukan identitas ketionghoaan secara monolitik dengan menabalkan China sebagai kiblat politiknya, di mana Partai Komunis merupakan penguasa tunggal. Propaganda antikomunisme yang ditancapkan Orde Baru sepanjang berkuasa berimplikasi pada kebijakan anti-Tionghoa.
Ada banyak solusi yang diusulkan para tokoh Tionghoa agar keberadaan etnisnya diterima dan bebas dari serangan rasial, salah satunya Junus Jahja (Lauw Chuan Tho) yang menganjurkan pembauran total. Menjadi Muslim akan membuat masyarakat Tionghoa diterima oleh pribumi mengingat Islam agama mayoritas karena solidaritas keagamaan akan meredam isuisu rasial. Harry Tjan Silalahi berpendirian lain, integrasi Tionghoa merupakan solusi memadai mempertimbangkan sifat dasar bangsa Indonesia yang majemuk.
Ironisnya, Orde Baru memberikan perlakuan istimewa dalam berbisnis ke beberapa kroninya dari kalangan Tionghoa. Namun, di luar itu, tak sedikit pengusaha Tionghoa mendapat tekanan dan harus bertahan sekuat tenaga di tengah kebijakan monopoli pemerintah. Yang luput adalah keberadaan lapisan besar orang-orang Tionghoa miskin. Mereka terlupakan dan tak mendapat tempat dalam diskursus kesenjangan ekonomi dan pentingnya pemerataan. Seorang tokoh agama Konghucu yang beretnis Tionghoa di Jawa Barat bercerita, komunitas agamanya menghadapi ekspansi misionaris dari salah satu denominasi Kristen yang berpusat di Jerman. Tidak sedikit umatnya berpindah agama karena faktor ekonomi. Ia tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
Agenda Bersama
Tak ada pemimpin negeri ini yang diasosiasikan oleh lawan politiknya sebagai keturunan Tionghoa dan komunis, kecuali Jokowi. Persoalan Tionghoa dan Komunis berakar pada pengawetan konstruksi politik Orde Baru. Harus ada keberanian politik dan ketulusan semua elemen bangsa untuk mengoreksi kesalahan masa lalu, kemudian bersama-sama mencari alternatif atau titik temu demi kebaikan dan integrasi bangsa. Tidak mudah dan sering kali menyakitkan.
Kita patut becermin pada dua fenomena politik mutakhir, di mana perjuangan politik mampu menembus kebebalan politik identitas dan merekonsiliasi pertengkaran masa lalu. Pertama, sokongan Partai Aksi Demokrasi (DAP) yang berbasis elektoral etnis Tionghoa Malaysia terhadap Koalisi Pakatan pimpinan Mahathir Mohamad telah berkontribusi penting dalam menumbangkan Najib Razak. Padahal, saat kampanye, presiden PAS pendukung Koalisi Barisan Nasional menuduh DAP memusuhi umat Islam dan menyebut agenda Koalisi Pakatan tak sejalan dengan Islam.
Kedua, Koalisi Partai Istiqomah dan Partai Komunis Irak berhasil memenangi pemilu dan akan membentuk koalisi pemerintahan Irak secara bersama. Partai Istiqomah dikendalikan Muqtada al-Sadr, ulama besar yang ayahnya, Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr, adalah penentang komunis dan sekularisme enam dekade silam. Wallahualam.
Sumber : Kompas, 7 Juli 2018