KAMI Menunggangi Demonstrasi Buruh
Oleh : Kurniawan Sulistyo )*
Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) terus mencari panggung demi hasrat politiknya. Dalam momentum terbaru, KAMI pun turut menunggangi demonstrasi buruh, sehingga semakin memperkeruh suasana sosial politik.
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo seakan tak bosan-bosannya mencari panggung politik melalui beragam isu, mulai dari PKI hingga dukungannya terhadap buruh untuk melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Sulit untuk menepiskan anggapan bahwa dukungan Gatot terhadap buruh yang melakukan aksi mogok kerja adalah motif politik untuk mendapatkan panggung.
Pernyataan yang diungkapkan Gatot terkait UU Cipta Kerja tentu bisa dianggap menunggangi kepentingan buruh. Sebab, akan sangat sulit untuk tidak mengatakan aktor-aktor, baik lapangan maupun non lapangan dalam sebuah demonstrasi untuk tidak saling menunggangi.
Pihaknya berpendapat bahwa salah satu peran menyelamatkan Indonesia adalah dengan menggagalkan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya telah mengeluarkan imbauan terkait rencana mogok nasional yang diisukan akan dilakukan pekerja atau buruh jelang pengesahan klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja.
Sebelum terlena dengan dukungan dari KAMI, kita juga perlu mengenal dari beragam manfaat dan keuntungan yang akan didapatkan masyarakat dari RUU Cipta Kerja yang akan segera diundangkan.
Omnibus Law ini justru akan membuat penyederhanaan proses perizinan usaha dan investasi di Indonesia. Misalnya, beberapa pasal dalam RUU tersebut yang terkait dengan masalah kawasan hutan, hingga perkebunan juga dilakukan penyederhanaan.
Anggota DPR Komisi IV Firman Subagyo mengatakan, UU Cipta Kerja akan membuat harmonisaso dalam investasi, ekonomi dan lingkungan hidup akan memberikan banyak manfaat. Tujuannya, agar RUU ini bisa mencegah terjadinya konflik, tumpang tindih, penyeragaman kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta lintas sektor dan memangkas pengurusan izin serta mencegah kekosongan hukum.
Pada kesempatan berbeda, Bambang Arianto selaku Direktur Institute for Digital Democracy (IDD) mengatakan, RUU Cipta Kerja dapat menjadi landasan pengaman pekerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merevisi upah minimum pekerja. Dalam RUU Cipta Kerja ada ketentuan yang meminta perusahaan untuk bisa memberikan standar atau jaring pengaman perihal besaran upah minimum bagi karyawan baru melalui upah minimum provinsi.
Bambang mengatakan bahwa dalam RUU Cipta Kerja ada ketentuan yang meminta perusahaan untuk bisa memberikan standar atau jaring pengaman perihal besaran upah minimum bagi karyawan baru melalui upah minimum provinsi.
Sebelumnya DPR RI juga sempat menerima perwakilan serikat pekerja untuk membahas isu-isu krusial dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat untuk membentuk tim perumus RUU Ciptaker.
Setidaknya ada 9 poin yang dibahas dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah terkait dengan upah dan pesangon.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah menyesalkan terjadinya banyak miss informasi di masyarakat pasca Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-undang.
Bahkan pembelokan informasi paling masif terjadi pada klaster ketenagakerjaan yang disinyalir motifnya untuk memprovokasi para buruh.
Padahal, semangat dari undang-undang ini adalah memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap pekerja.
Menurut Said, penyesatan informasi ini sangatlah berbahaya, bahkan dapat menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, dia meminta agar semua elemen dapat menahan diri agar tidak menjadi corong penyebaran hoaks terkait dengan undang-undang cipta kerja.
Dirinya juga memastikan, bahwa undang-undang ciptaker akan membuat para tenaga kerja terbantu dalam banyak hal.
Kita juga harus memahami bahwa tidak benar bahwa perusahaan bisa melakukan PHK kapanpun. Ketentuan dalam pasal 151 Bab IV UU Cipta Kerja justru memberikan mandat yang jelas bahwa pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja mengupayakan tidak terjadi PHK.
Jika akan melakukan PHK maka ketentuan diatur dengan tahap yang jelas, haruslah melalui pemberitahuan ke pekerja, perlu ada perundingan bipartid dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial.
Selain itu pasal 153 Bab IV UU Ciptaker juga mengatur pelarangan PHK dikarenakan beberapa hal, seperti sakit berturut-turut selama 1 tahun, menikah, menyusui, hingga keadaan cacat karena sakit atau akibat kecelakaan.
Selain itu, tidak benar bagi karyawan outsourcing bisa diganti dengan kontrak seumur hidup, tidak ada pengaturan seperti ini didalam UU Ciptaker.
Jika demokrasi dijalankan hanya dengan emosi, tentu saja provokasi dapat menjadikan kekacauan di banyak tempat. Tentu para buruh harus berhati-hati kepada pihak yang hendak melakukan provokasi.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang