Kami Merah Putih, Bukan Hitam Putih
Oleh: Ricky Putra Syahreza*
Polemik pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Banser di Garut hingga saat ini masih terus bergulir dan semakin meluas. Peristiwa diawali ketika Banser NU merampas dan membakar bendera organisasi terlarang tersebut pada perayaan Hari Santri Nasional (HSN) 2018 di Garut, Jawa Barat. Padahal sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa hanya bendera Merah Putih yang dapat dikibarkan dalam perayaan tersebut.
Peristiwa ini mendapatkan berbagai respon masyarakat terkait pro dan kontra pembakaran bendera tersebut. Dalam klarifikasinya, GP Anshor mengatakan bahwa bendera tersebut boleh dibakar karena menjadi simbol dari ormas yang dilarang pemerintah. Namun dari kelompok eks-HTI menyangkal bahwa mereka memiliki simbol atau logo tertentu. Hal ini akhirnya menyebabkan berbagai pandangan dan argumen yang saling dilontarkan secara bebas oleh seluruh masyarakat Indonesia.
PBNU menilai Isu pembakaran bendera HTI yang dikemas dengan pembakaran lafal Tauhid merupakan upaya provokasi HTI dengan memanfaatkan peringatan HSN. Isu tersebut bertujuan untuk menghilangkan makna peringatan HSN sebagai sebuah entry point kebangkitan politik kaum Santri dan diplintir untuk menyudutkan kaum santri. Hal ini sesuai dengan temuan investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) PBNU, yang menunjukkan bahwa aksi pengibaran dan pemasangan bendera HTI terjadi di berbagai lokasi yang merata hamper di seluruh wilayah Jawa Barat, seperti Sumedang, Kuningan, Ciamis, Banjar, Bandung, Tasikmalaya, dan lain-lain.
Meskipun PBNU telah membeberkan fakta-fakta tersebut, namun sekelompok orang yang tidak terima atas pembakaran bendera HTI tersebut dan bergagas untuk melakukan Aksi Bela Tauhid dengan dalih pembelaan bendera tauhid. Aksi Bela Tauhid tersebut sebenarnya sangat disayangkan oleh sebagian pihak, di tengah berbagai upaya untuk meredam perpecahan antar umat Islam terdapat pihak yang ingin memanas-manasi.
Namun, kenyataan berbicara lain. Fakta bahwa ada dorongan politis dalam Aksi Bela Tauhid itu tak bisa disangkal. Beberapa bukti menunjukkan bahwa aksi ini condong ke arah kepentingan politik, dibandingkan membela agama.
Hal itu bisa ditelusuri dari beberapa bukti, pertama, inisiator Aksi Bela Tauhid ini rata-rata adalah pendukung Capres-Cawapres tertentu. Tidak hanya demikian, sebagian besar dari mereka adalah para eks peserta aksi 411 dan 212 yang digelar di Jakarta tahun lalu.
Kedua, munculnya simbol-simbol wajah Prabowo dan Sandi dalam Aksi Bela Tauhid. Mobil bergambar wajah Prabowo-Sandi terlihat mondar-mandir dan menjadi lokasi spot selfie.
Ketiga, adanya seruan ganti presiden dari orator aksi. Isu yang dibangun para inisiator Aksi Bela Tauhid pun terlihat menyalahkan pemerintah yang terkesan diam atas insiden pembakaran bendera tersebut. Mereka juga menyebut bahwa pemerintahan Jokowi ini pro-pembakar bendera, sehingga sama saja bahwa rezim Jokowi ini adalah musuh agama Islam dan menjadi musuh umat Islam. Ya, seperti itulah isu yang hendak dibangun. Taktik ini persis seperti yang dilakukan untuk menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama ketika Pilkada DKI Jakarta lalu.
Antara pembakaran bendera HTI, panasnya linimasa warganet, dan Aksi Bela Tauhid adalah rangkaian yang tak terpisah. Ketiganya diduga kuat bermotif politis, bukan bela agama sebagaimana yang telah digaungkan selama ini. Meskipun telah dibubarkan oleh pemerintah, namun pergerakan-pergerakan anggora HTI telah berhasil menjebak Banser dan mengadu domba umat Islam di Indonesia.
Keberhasilan HTI dalam mengusik Indonesia tercermin dalam peristiwa pengibaran bendera HTI di Poso. Massa Aksi Bela Tauhid menurunkan bendera Merah Putih yang berkibar di halaman DPRD Kab. Poso dan menggantinya dengan bendera HTI. Tidak hanya di halaman DPRD, massa juga mengibarkan bendera HTI di Lapangan Sintuwu Maroso.
Entah butuh berapa banyak bendera Merah Putih yang diturunkan sebelum masyarakat sadar bahwa HTI masih ada dan terus berupaya untuk memecah belah umat Islam. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, sehingga peran sebuah agama akan sangat berpengaruh terhadap dunia perpolitikan. Umat muslim perlu memilah dan memilih kembali tentang peristiwa yang terjadi. Jangan langsung memberikan tanggapan dan menyimpulkan sesuatu dengan berat sebelah tanpa adanya tabayyun, atau bahkan hanya memandangnya dari satu sisi saja.
Kepada masyarakat Indonesia, kita seharusnya bisa menahan diri, tidak terprovokasi supaya ukhuwah islamiah dan kesadaraan di kalangan kita bisa terpilihara. Hanya karena dalam tahun politik, seolah-olah segala cara bisa dihalalkan untuk melakukan kampanye bahkan mengatasnamankan Tuhan. Hijaunya Bangsa Indonesia tidak akan bisa disamakan dengan coklatnya gurun pasir. Kami Merah Putih, bukan Hitam Putih.
*) Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Padjajaran.