Kampanye Ekslusif Prabowo, Tak Lazim untuk Negara Demokrasi
Oleh : Elanto Wijaya )*
Paslon nomor urut 02 diklaim telah mendatangkan jutaan pendukungnya di GBK untuk melaksanakan kampanye akbar, namun terdapat kejanggalan yang perlu dicermati dari rundown pelaksanaan kampanye akbar tersebut, termasuk surat dari SBY yang dikirim dari Singapura.
Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan menjelaskan bahwa isi surat tersebut adalah saran agar kampanye akbar yang akan dilakukan Paslon nomor urut 02 tersebut agar dilaksanakan lebih terbuka dan tidak kental dengan nuansa “ekslusif” mengingat bahwa koalisi pendukung Capres 02 adalah koalisi pluralisme, dimana dalam koalisi tersebut berbagai elemen bangsa masuk didalamnya yaitu lintas SARA.
Surat yang ditulis SBY tersebut dinilai merupakan sebuah autokritik yang arif nan bijaksana, karena memang dalam Undang – Undang Pemilu, ditekankan bahwa kampanye tidak boleh/dilarang memunculkan hal yang berbau SARA.
Namun surat yang diterima sebelum pelaksanaan kampanye tersebut rupanya hanya dianggap angin lalu, kampanye tetap berjalan dengan nuansa yang sarat dengan ekslusifisme, dimana kampanye tersebut diawali dengan sholat shubuh.
Perihal surat dari SBY tersebut mendapatkan tanggapan dari Sekretaris TKN, Hasto Kristianto yang memaklumi kegelisahan mantan Presiden 2 periode tersebut terhadap cara berkampanye Capres yang diusungnya Prabowo Subianto.
Hasto menyebutkan bahwa cara berkampanye Prabowo – Sandi tidak sesuai dengan harapan SBY sehingga wajar apabila kampanye akbar yang dilaksanakan di Senayan tersebut dinilai eksklusif dan tidak lazim.
Sekjen PDI-P itu juga menegaskan bahwa pihaknya sepaham dengan pemikiran SBY yang dikenal santun dan tidak pernah berkata kasar.
“Kami bisa memahami kegelisahan dari SBY, terlebih dalam putaran terakhir ini Pak Prabowo menampilkan sosok yang mudah emosional, kemudian menampilkan kampanye yang berbeda jauh dari yang diharapkan Pak SBY,” tutur Hasto.
Hasto juga memahami kegelisahan Ketua Umum Partai Demokrat yang dikenal santun, tidak suka berkata kasar, fitnah dan hoaks.
Dalam surat tersebut Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan “Menurut saya apa yang dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif,” tulis SBY dalam suratnya.
Intinya SBY berpendapat bahwa pelaksanaan kampanye pemilu nasional sepatutnya melingkupi seluruh pihak. Artinya, tidak hanya memunculkan satu identitas tertentu.
Artinya acara tersebut tidaklah menunjukkan nilai – nilai kebhinekaan yang sudah semestinya dijunjung, hal ini karena Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam budaya, dan tidak hanya satu agama saja. Tentunya kampanye akbar yang dilaksanakan oleh Prabowo – Sandi lebih tepat disebut tahlilan akbar daripada kampanye akbar.
Pada Kesempatan yang lain, Capres Petahana Jokowi juga sepakat dengan isi surat yang ditulis oleh SBY mengenai konsep kampanye akbar Prabowo yang dinilai ekslusif. Menurutnya, kampanye itu harus mengemukakan kebhinekaan atau keberagaman, serta harus menghindari politik identitas.
“Saya sepakat sekali bahwa setiap kampanye itu yang dikemukakan kebhinekaan, keberagaman, dan yang penting adalah kesatuan kita sebagai negara,” ujar Jokowi.
Dirinya juga mengatakan bahwa surat itu mengingatkan masyarakat bahwa konstelasi politik seperti Pilpres ini ada dalam setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian, jangan sampai pemilu mengorbankan kesatuan, persatuan , persaudaraan dan kerukunan.
“Sejak awal saya tunjukkan itu keberagaman, kebhinekaan dalam seni budaya, karnaval. Saya kira itu yang memang kita hindari politik Identitas, politik SARA,” tutur mantan Walikota Solo tersebut.
Kampanye akbar ekslusif tersebut tentu tidak mencerminkan kebhinekaan yang ada di Indonesia, tak berbeda dengan gerakan 212 yang saat itu ingin melengserkan Ahok.
Jika kampanye akbar tersebut sudah seperti tahlilan akbar, apakah ini merupakan salah satu bentuk doa agar demokrasi segera berganti? Tentu masyarakat Indonesia harus sadar dan menghormati berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Sandiaga Uno juga sempat mengatakan bahwa dalam kampanye tersebut hadir pula tokoh dari Agama Nasrani Hasyim Djojohadikusumo, tentu akan timbul pertanyaan, apa yang dilakukan Hasyim Djojohadikusumo tersebut saat kampanye ekslusif berlangsung?
Menjaga persatuan di Indonesia bukanlah hal yang mudah, jika pemimpin tidak menunjukkan pluralitasnya dengan mengajak serta kaum lintas agama untuk membangun Ideologi Pancasila pada Sila ke – 3 yaitu persatuan Indonesia.
) * Mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta