Kasus ASN Fiktif Sudah Teratasi
Oleh : Lisa Pamungkas )*
Kasus Aparatur Sipil Fiktif (ASN) merupakan kasus lama yang saat ini sudah teratasi. Upaya tersebut merupakan respons cepat Pemerintah dalam mengantipasi kerugian negara yang semakin dalam.
Akhir-akhir ini, Indonesia tengah heboh dengan adanya informasi terhadap 97 ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS) fiktif. Hal tersebut rupanya telah diluruskan oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dirinya meluruskan bahwa informasi terkait kebobolan gaji terhadap 97 ribu PNS fiktif tersebut merupakan kasus lama dan sudah selesai.
Dirinya menjelaskan, bahwa data PNS fiktif tersebut diketahui dan ditemukan pada 2015 ketika sedang dilakukan pendataan ulang PNS. Kemudian pada 2016, data sudah dirapikan sehingga tidak ada lagi PNS fiktif yang menerima gaji dan pensiun.
Melalui keterangan tertulis, Tjahjo mengatakan bahwa kasus PNS fiktif merupakan kasus lama pada tahun 2015 yang muncul kembali ketika diadakan pendataan ulang PNS (PUPNS). Di mana pendataannya telah selesai pada tahun 2016.
Sebelumnya, Bima Haria Wibisana selaku Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), menuturkan bahwa perlu adanya pembaruan data PNS. Bima lantas menceritakan, bahwa sebelumnya terdapat data yang menunjukkan 97 ribu PNS fiktif yang tetap menerima gaji dan pensiun.
Sejak Indonesia merdeka, Bima berujar bahwa pembaharuan data PNS baru dilakukan sebanyak dua kali yakni pada 2002 dan 2014. Karena itu perlu dilakukan pemutakhiran data ASN secara berkala untuk menghindari gaji PNS fiktif.
Menurutnya, temuan tersebut berdasarkan pendataan ulang PNS mandiri via elektronik, kala itu. Pendataan bukan dilakukan oleh biro kepegawaian dan pengembangan sumber daya manusia instansi terkait maupun badan kepegawaian, pendidikan dan pelatihan di daerah.
Pelaksana tugas (plt) Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja sama Badan Kepegawaian Negara, Paryono, mengatakan bahwa kewajiban pembaruan data ini dimulai pada bulan Juli hingga Oktober 2021. Menurut Paryono, setiap ASN dan Pejabat Pimpinan Tinggi non-ASN cukup melakukan pemutakhiran data dan riwayat pribadinya melalui akses daring ke dalam aplikasi MySAPK berbasis gawai (mobile) atau website.
Paryono juga mengatakan bahwa salah satu persoalan tidak dilakukannya pembaharuan data PNS adalah dikarenakan adanya kendala akses informasi atau akses yang tidak merata terutama terjadi di daerah terpencil.
Dirinya mengatakan, kesalahan awal memang ada di pegawainya. Namun, instansi harusnya menegur pegawai yang belum melakukan pembaruan data.
BKN juga menemukan sebab lain, seperti kondisi kesehatan pegawai yang memburuk atau sakit dan sebagian lainnya tengah melakukan perjalanan antar daerah. Hal tersebut juga tidak dapat dilakukan pembaruan.
Selain itu, instansi juga semestinya paham apabila terdapat pegawai yang belum memperbarui data. Pasalnya, penyerahan data tersebut dilakukan secara kolektif dari instansi ke BKN. Data yang diserahkan ke BKN dengan total pegawai suatu instansi pasti akan ketahuan apabila tidak sama.
Di sisi lain, adanya 97.000 data misterius PNS tersebut merupakan data yang mengikuti Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil secara Elektronik (ePUPNS). Itu karena, pada tahun 2014 lalu BKN sempat mengadakan PUPNS, akan tetapi belum secara maksimal.
Paryono mengatakan pegawai itu tetap dapat terima gaji meski dinyatakan fiktif. Namun, kesalahan itu ditegaskan bukan ada di BKN.
Selain itu, data 97 ribu PNS fiktif tersebut juga tidak bisa berkembang. Jika tidak pensiun, PNS tersebut tidak bisa dipindahkan.
Ia juga menyebutkan, apabila akan memasuki masa pensiun atau mutasi, PNS itu harus memperbarui data. Jika tidak, maka mereka akan tetap dinyatakan fiktif.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni telah meminta Polri agar dapat bekerjasama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkap temuan 97.000 data PNS yang diduga fiktif.
Sahroni menegaskan, bahwa pihak kepolisian juga perlu untuk melakukan invetasi secara serius untuk menelusuri kemanakah larinya uang negara.
Di sisi sistem hukum, pemutakhiran data di Indonesia dinilai mengalami kekosongan hukum. Dengan kata lain, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur skema pembaharuan data PNS ataupun lembaga-lembaga berwenang yang mengelola data tersebut.
Jika ini masalah lama, tentu saja hal ini patut diungkap dan diselesaikan secara sistematis, apalagi ada banyak anak muda yang ingin menjadi PNS, sehingga kita patut mendukung upaya BKN dan MenPAN-RB untuk dapat mengatasi masalah ini.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute