Kasus Rizieq di Arab Saudi, Bagai Kacang Lupa Kulit
Oleh: Hasna Novia
Beberapa waktu lalu, publik sempat digemparkan dengan beredarnya berita penahanan dan interogasi Rizieq Shihab oleh pihak yang berwenang di Saudi Arabia, perihal ditemukannya bendera warna hitam yang bertuliskan kalimat Tauhid dengan warna putih dinding bagian belakang rumahnya. Pemerintah Arab Saudi menyebut bahwa bendera yang memiliki ciri-ciri demikian merupakan bendera yang identik dengan bendera ISIS atau Al-Qaeda. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan bahwa organisasi tersebut adalah organisasi terlarang sehingga bendera yang menyerupai dengan bendera organisasi tersebut dilarang dipasang atau dikibarkan oleh penduduk.
Beredarnya kabar mengenai penahanan dan interogasi yang diterima oleh Rizieq, muncul berbagai komentar dari pihak-pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Salah satu statement sempat dilontarkan oleh beberapa tokoh oposisi seperti Fadli Zon dan Munarman yang melontarkan berbagai tuduhan. Jika kita cermati bersama, tuduhan itu lebih diarahkan ke pemerintahan Jokowi. Secara halus maupun terang terangan, tuduhan menyoroti pemasangan bendera di kediaman Rizieq itu merupakan rekayasa intel Pemerintah Indonesia.
Beranjak dari tuduhan tersebut, pada kenyataannya informasi awal tentang penahanan dan interogasi Imam Besar FPI ini diperoleh berdasarkan keterangan resmi Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel. Dubes Indonesia untuk Arab Saudi tersebut menyatakan bahwa Rizieq Shihab ditangkap dan sempat ditahan polisi serta intelijen Arab Saudi karena terdapat aduan mengenai terpasangnya bendera yang dianggap mirip bendera ISIS.
Jika kita perhatikan proses pemeriksaan yang dilakukan kepada Rizieq, Pemerintah Indonesia dalam hal ini yang diwakili oleh KBRI Arab Saudi, telah melakukan pendampingan dan upaya diplomasi kepada pihak Arab Saudi untuk memberikan keringanan kepada tokoh FPI tersebut. Waktu pemeriksaan yang berlangsung kurang lebih 28 jam menghasilkan sebuah keputusan untuk membebaskan Rizieq dengan syarat adanya jaminan yang diberikan kepadanya.
Sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri, tugas dan tanggung jawab Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di Arab Saudi patut mendapat apresiasi karena telah membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh WNI di lingkup wilayahnya. Metode diplomasi yang selama ini menjadi langkah efektif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang melibatkan hubungan internasional dengan negara lain dapat diselesaikan dengan hubungan diplomatik oleh pemerintah Indonesia.
Upaya bantuan yang dilakukan oleh pihak KBRI di Arab saudi tidaklah berjalan mulus dan mendapat apresiasi positif dari khalayak umum. Kurangnya rasa bersyukur dan terima kasih atas bantuan yang diterima oleh pihak Rizieq memunculkan statement-statement negatif dari pihaknya. Rizieq menilai bahwa kejadian yang dialami adalah settingan dan pembebasan yang diberikan padanya bukanlah berdasarkan bantuan dari KBRI yang ada di Arab Saudi.
Tanggapan negatif lain juga muncul dari Ketua DPP Gerindra Iwan Sumule yang mempertanyakan kesigapan dari pemerintah Indonesia dalam menangani kasus Habib Rizieq dengan kasus penjatuhan hukuman pancung oleh TKI Indonesia bernama Tuti. Kita perlu cermati bahwa kasus tersebut merupakan sebuah kasus yang berbeda, dimana pada kasus hukuman mati yang diterima oleh TKI pada beberapa hari lalu, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan laporan dari pihak terkait maupun pemerintah Arab Saudi sehingga kasus Tuti tidak termonitor oleh KBRI. Sehingga pemerintah Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa atas kejadian tersebut. Berbeda dengan kasus yang menerima Rizieq, pihak Arab Saudi mengirimkan pemberitahuan sehingga KBRI dapat segera bertindak.
Jadi perlu kita sadari, sebuah argumen dapat menciptakan opini kurang tepat bagi pemerintahan kita. Jadi berhati-hatilah dalam berargumen dan mari jaga keutuhan negara kita dengan menjadi masyarakat yang baik dan benar untuk mendukung pemerintahan yang berjalan.
)* Penulis adalah Mahasiswi Hubungan Internasional