Kedisiplinan Mempercepat Penanganan Pandemi Covid-19
Oleh : Zakaria )*
Covid 19 menjadi momok masyarakat yang luar biasa. Bahkan karenanya dinamika kehidupan juga terpuruk termasuk dinamika ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pariwisata. Sungguh corona menjadi diskursus yang mengguncang dan menakutkan. Masyarakat pun diimbau untuk tetap disiplin guna mempercepat penanganan Covid-19.
Ada harapan baru yang muncul dengan adanya kesepakatan New Normal. Keinginan bukan untuk terlepas dari penyakit corona sesuai makna yang aslinya, tetapi justru ingin hidup “berdamai” atau berdampingan dengannya.
Entah apa ini bisa menjadi momentum yang bakal mengembalikan sorak-sorai bangsa karena terbebas dari pandemi, atau dinamika justru semakin terpuruk karena kurva “serangan” covid 19 tidak juga melandai.
Ada argumen yang menyatakan kalau seluruh anak bangsa bisa berdamai dengan covid 19 selama memiliki hasrat untuk hidup bernaungkan kedisiplinan yang tinggi. Salah satunya adalah disiplin ber-sosial distancing atau selainnya.
Mencermati argumen di atas, seyogyanya hidup layak di masa New Normal sepatutnya menjadi pilihan warga itu sendiri. Mereka ingin hidup layak dengan corona atau justru terjerumus menjadi korban-korban berikutnya.
Deskripsi semacam ini yang tentunya tidak bisa diterima tanpa perdebatan, ketika kenyataan berbicara, kalau masih banyak masyarakat yang tidak disiplin dalam melakukan implementasi teknik cegah corona.
Terlalu naif kiranya jika istilah “semua pasti bisa asal usaha” di/ter paksa harus menjadi budaya dan kebiasaan masyarakat secara aksidental. Apalagi ini soal penyakit yang tidak terbatas di paradigma retorika saja tetapi ada fakta “pembunuhan” yang sedang mengincar.
Padahal untuk membuat masyarakat disiplin dalam menjalani kehidupan yang bebas antri saja, sudah di-promosikan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tetapi hasilnya masih tetap berada di bawah nilai statistik yang diinginkan.
Sekarang muncul lagi kalimat horor yang menyerang masyarakat kalau tak disiplin maka New Normal yang viral bisa menjadi bumerang. Refleksi akibat kemarahan karena masyarakat tidak juga sadar kalau penyakit ada di balik-balik pintu rumah mereka.
Argumen ini bisa disanggah oleh masyarakat kalangan akar rumput yang mereka tahunya hanya mengais rezeki saja. Sedangkan penjelasan mumet terkait physical distancing tidak menjadi lahan mereka karena terlanjur antipati terhadap nilai saintifik yang ada.
Orang-orang semacam ini tentu ber-alibi untuk tetap beraktivitas tanpa secuilpun melakukan tindakan pencegahan. Tetapi apakah kisah horor-nya akan tetap dinisbatkan kepadanya sebagai manusia yang ingkar?
Dibutuhkan payung idealisme menyeluruh untuk menyadarkan anak bangsa agar saling melindungi bahkan saling memerangi penyakit dengan senjata yang sama yaitu disiplin. Jika pun akhirnya diterapkan sepenuh hati, lebih baik out of speed atau keluar dari jalanan.
Mari disiplin di tengah keluarga adalah satu kalimat yang bisa menjadi mujarab apalagi disampaikan dengan retorika kelas “nabi” yang memukau dan meresap. Sebuah diksi yang terkesan nisbi untuk ke”Indonesian” tetapi paling tidak lebih santun dan tegas.
Jika masyarakat sudah mampu memayungi keluarganya dengan menjadi pribadi yang disiplin dan terampil, otomatis lingkar wilayah setelahnya seperti RT, Desa, Kabupaten bahkan bangsanya juga akan dipayungi kehidupan berdisiplin yang lebih satu warna.
Konsepsi ini yang jika dihidangkan bisa menjadi momentum keberhasilan dari hasrat “berdamai” dengan corona via satu fitur bernama New Normal. Tidak perlu mengalahkan corona tetapi pandemi menarik diri karena tidak ada lagi masyarakat masuk zona serangan.
Karena dasar itulah, melalui opini ini mari mendisiplinkan diri tidak di luar rumah tetapi di dalam rumah. Latih diri bermasker saat menonton televisi serta rajin mencuci tangan sehabis makan dan minum.
Tunaikan suasana baru di atas sebagai New Normal di skala terkecil. Jangan lupa hiduplah di luar rumah dengan nyaman. Karena sejatinya manusia membutuhkan udara segar apapun status alam yang menaunginya.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik