Polemik Politik

Kerja Bersama Menangkal Radikalisme

Oleh: Alfisyah Kumalasari )*

Radikalisme merupakan serapan dari kata radix yang dalam bahasa latin berarti akar, istilah tersebut sering digunakan pada abad 18 untuk para pendukung gerakan radikal.

Ternyata hampir di semua negara pasti ada gerakan – gerakan radikal. Gerakan ini hadir dalam berbagai bentuk dan beragam. Di Indonesia sendiri gerakan radikalisme muncul setelah masa orde baru. Dimana di era demokrasi, orang – orang merasa setelah reformasi digaungkan, semua orang bebas berpendapat apapun, termasuk paham radikalis yang menyebar secara masif.

Kemunculan gerakan inipun awalnya sembunyi – sembunyi seperti yang dilakukan oleh kelompok jemaah Islamiyah (JI) maupun yang berwujud gerakan radikal yang terang – terangan seperti Laskar Jundulloh, MMI, HTI dan lain – lain.

Kira – kira apakah FPI termasuk radikal? Menghina Pancasila, Menghina kaum minoritas, lalu melakukan sweeping warteg dan mengancam dengan kata – kata ‘bunuh’, ‘gantung’ apakah hal tersebut termasuk radikalisme. Entahlah intinya kalimat tersebut merupakan kalimat ancaman yang membuat keamanan di Indonesia menjadi terusik.

Kita tak dapat menampik bahwa demokrasi di Indonesia hampir memberikan wadah yang seluas – luasnya bagi setiap warga negara untuk melakukan apapun. Demokrasi yang dimaknai dan dipraktikan di negeri ini sungguh jauh lebih “liar” jika dibandingkan dengan demokrasi yang diterapkan di negara tetangga, Malaysia misalnya, hal ini dikarenakan negara tersebut memiliki undang – undang Internal Security Act (ISA), dengan undang – undang tersebut malaysia dapat menindak siapapun yang dicurigai dapat membahayakan kehidupan publik.

Undang – undang tersebut, menjadi landasan pemerintah malaysia untuk menahan siapapun yang dianggap berbahaya tanpa melalui proses peradilan terlebih dahulu. Undang – undang inilah yang menyebabkan sebagian kelompok garis keras lari tunggang langgang ke negara terdekat seperti Indonesia, tentu kita masih familiar dengan naman Noordin M Top dan Azhari, yang telah tewas oleh Densus 88.

Kita tentu sudah tahu betapa dahsyat dan gilanya kelompok radikal semacam Abu Sayyaf dan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), mereka dengan tega mengancam, meneror dan membunuh sesama manusia tak ubahnya seorang pemburu yang menembak binatang.

ISIS juga kerap menyebarluaskan gambar mengerikan sebagai brand gerakan radikal, salah satunya adalah warga kroasia yang dipenggal kepalanya. Hal tersebut adalah salah satu cara agar mereka menjadi terkenal dan makin ditakuti.

Selain itu dalam melakukan propaganda bagi ISIS adalah sesuatu yang mudah dan murah. Kecanggihan teknologi ternyata juga turut berperan dalam perekrutan anggota. Tak jarang propaganda tersebut justu menyesatkan banyak orang untuk masuk secara tidak sadar dalam lorong gelap gerakan radikal.

Untuk menepis paham radikal, tentunya memerlukan peran dari berbagai pihak, namun yang paling utama adalah dari diri sendiri, yaitu dengan mempelajari agama dari ulama yang terpercaya akan ilmu agamanya.

Dalam hal ini para ulama juga harus benar – benar menyadari akan tanggungjawab mereka atas umat. Dimana di akhirat kelak mereka akan diminta pertanggungjawaban dan akan ditanya mengenai ilmu dan fatwa – fatwa mereka.

Selain itu Ulama dan Umara juga berperan dalam perkembangan pemahaman keagamaan di tengah – tengah masyarakat. Agar segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam pemahaman agama dapat diantisipasi sejak dini.

Hal yang tak kalah penting dalam menepis paham radikalisme adalah dengan memperhatikan sebab – sebab yang dapat memancing bangkit dan berkembangnya paham radikal.

Pencegahan dan penanggulangan radikalisme perlu dilakukan secara terarah dan terkoordinir dengan melibatkan ulama dan umara’.

Selain itu keluarga juga berperan dalam memberikan pemahaman agama yang baik terhadap anak – anaknya, ketiadaan waktu orangtua untuk mendidik agama kepada anak – anaknya dapat membuat anak tersebut lantas mencari kajiannya agamanya sendiri, hingga akhirnya bukan tidak mungkin kajian yang berbau provokasi akan membuatnya berubah menjadi seorang radikalis.

Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, juga semestinya memberikan ilmu agama yang mudah diserap oleh kaum milenial yang cenderung menyukai sesuatu yang praktis, seperti video dakwah 1 menit di sosial media yang cenderung praktis sederhana dan mudah dipahami oleh milenial.

Dengan menepis paham radikalisme, tentu kita telah berupaya dalam menjaga kedaulatan negara dan persatuan antar bangsa.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih