Ketidaklayakan Prabowo di Mata Papua
Penulis : Grace Septiana*
Pilpres tahun 2019 seolah hadir sebagai nostalgia bagi masyarakat Indonesia. Untuk kedua kalinya masyarakat dihadapkan dengan pilihan yang sama dengan Pilpres 2014 lalu, antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Untungnya, pada pemilihan Presiden kali ini ada sesuatu yang baru dari pihak Prabowo. Bersama Sandiaga Uno, Cawapresnya, Prabowo Subianto membuat komitmen baru untuk Pemilu tahun 2019. Salah satunya adalah mengunjungi Papua. Dapat dikatakan komitmen tersebut merupakan terobosan baru dari Prabowo mengingat tahun 2014 lalu, media tak pernah meliput Prabowo berkampanye di Papua.
Untuk mencegah kekalahan telak seperti di Tanah Papua pada tahun 2014, Prabowo merasa perlu mengambil langkah tersebut. Sayangnya, terobosan baru Prabowo tersebut belum cukup efektif untuk memenangkan hati masyarakat Papua. Hal ini dilatarbelakangi adanya sejarah kelam Prabowo terkait pelanggaran HAM seperti penghilangan sejumlah aktivis di Indonesia. Masyarakat Papua yang pernah merasakan represifitas di Tanah Papua tentu akan enggan untuk memilih pemimpin yang justru mereka takuti. Tak heran pada 2014, Tanah Papua serentak mengkampanyekan Jokowi sebagai pemimpin ramah, santun dan jauh dari kasus pelanggaran HAM.
Di samping kasus penculikan aktivis, Operasi Mapenduma menjadi alasan utama masyarakat Papua untuk tidak memilih Prabowo Subianto. Operasi Mapenduma merupakan operasi pembebasan 12 peneliti Tim Lorentz yang sedang mengumpulkan data di Mapenduma. Sebelumnya, 12 peneliti tersebut disandera oleh OPM dibawah kendali Daniel Yudas Kogoya untuk menarik perhatian Internasional dalam memerdekakan Papua. Dalam sejarahnya, operasi Mapenduma merupakan suatu keberhasilan bagi Prabowo Subianto sebagai Danjen Kopassus yang saat itu terjun langsung dalam memimpin operasi.
Berbagai pujian dari dalam negeri dan Internasional membanjiri Prabowo Subianto sebagai pahlawan bangsa. Sayangnya, pandangan tersebut tidak dimiliki oleh masyarakat Papua. Masyarakat Papua melihat Prabowo sebagai pemimpin militer yang ingin melakukan genosida terhadap seluruh masyarakat Papua. Menurut salah satu dewan adat di Papua, Prabowo dalam pelaksanaan operasi Mapenduma justru mengeksekusi masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam kasus penculikan tersebut. Dalam operasi Mapenduma tercatat 12 gereja dibakar, 12 wanita diperkosa dan ribuan warga sipil harus meregang nyawa.
Jika melihat kronologi tersebut, wajar saja jika Prabowo enggan berkampanye di Papua pada Pilpres 2014. Adanya ketegangan antara Prabowo dan masyarakat Papua menjadi penghalang untuk tim Prabowo dapat menarik hati masyarakat Papua. Begitu pula di Pilpres 2019 ini, Prabowo nyatanya masih dianggap sebagai sosok potensial dalam melanggar HAM oleh masyarakat. Di mata Papua, Prabowo hanyalah pemimpin berlumuran darah masyarakat Papua yang tidak layak untuk dipilih.
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung