Ketum MAHUPIKI Yenti Garnasih Pastikan Ada 17 Keunggulan dari KUHP yang Baru
Padang – Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih mengatakan KUHP baru ini memiliki 17 keunggulan. Keunggulannya diantaranya: bertitik tolak dari asas keseimbangan, Rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, 11 pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan, dan Penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method, Putusan Pemaafan Oleh Hakim (Judicial Pardon).
Keunggulan bertitik tolak dari asas keseimbangan dilihat dari antara “kepentingan umum/masyarakat” dan “kepentingan individu”; antara perlindungan/kepentingan pelaku, korban dan penegakan hukum; antara faktor “objektif” (perbuatan/ lahiriah/ actus reus) dan “subjektif” (orang/ batiniah/ sikap batin/ mens rea); dengan ide “daad-dader strafrecht”; antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas”, dan “keadilan”; antara nilai-nilai particular, nasional dan nilai-nilai global/ internasional/ universal; dan tercermin dalam 3 masalah pokok Hukum pidana, yaitu: Perbuatan Pidana/ Tindak Pidana; Kesalahan/ Pertanggungjawaban Pidana; dan Pidana/ Pemidanaan, ujar Ketum Mahupiki saat menjadi narasumber Sosialisasi KUHP baru yang diselenggarakan atas kerjasama antara Mahupiki dengan Universitas Andalas di Hotel Santika Premiere Padang Sumatera Barat, Rabu (11/1/2022).
Selain itu, menurut Yanti Garnasih, keunggulannya ada pertanggungjawaban pidana korporasi, mengutamakan pidana pokok yang lebih ringan, perluasan jenis pidana pokok (Pengawasan dan Kerja Sosial, pembagian Pidana dan Tindakan ke dalam 3 kelompok (umum, anak, korporasi), pidana denda diatur dalam 8 kategori, mengatur penjatuhan pidana mati secara bersyarat sebagai jalan tengah pro kontra pidana mati, mencegah penjatuhan pidana penjara utk TP Max 5 Tahun, mengatur alternatif pidana penjara berupa pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, mengatur Pemidanaan Dua Jalur, yaitu berupa Pidana & Tindakan, mengatur Pertanggungawaban Mutlak (Strict Liability) & Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability).
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Negeri Semarang Prof. Benny mengatakan tidak benar jika KUHP yang baru mengatur terlalu banyak perbuatan menjadi suatu Tindak Pidana (Over kriminalisasi), karena Buku II KUHP Nasional hanya 423 Pasal, sedangkan Buku II dan III KUHP (WvS) ada 465 Pasal.
“Pemerintah meneruskan pembahasan KUHP melalui dua langkah yakni menerima masukan dari stakeholder dan masyarakat sipil termasuk praktisi hukum. Pemerintah juga melakukan public hearing yang merupakan kewajiban proses perundang-undangan yang dilaksanakan secara bermakna/ Meaningful Participation berdasarkan putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 antara lain Right to be heard (Hak untuk didengarkan), Right to be explained (Hak untuk mendapat penjelasan), dan Right to be considered (Hak untuk dipertimbangkan),” kata Prof Benny.
Selanjutnya, Guru Besar Hukum Pidana UI Prof. Harkristuti Harkisnowo menjelaskan ada kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum adat yakni anggapan terjadi penyimpangan asas legalitas. Ini sama sekali tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah.
“Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa,” kata Harkristuti.
Prof.Harkristuti mengatakan Tim perumus KUHP juga menjembatani semua kepentingan seperti pada perzinaan dan kohabitasi karena masih ada perdebatan tentang pasal itu. Dalam pasal tersebut, penggerebakan dilakukan jika ada delik aduan dari pasangan sah.
“Ini untuk membatasi agar tidak semua org melakukan pengaduan. Tujuan pasal perzinaan dan kohabitasi adalah untuk menghormati nilai-nilai keindonesiaan dan Lembaga Perkawinan sebagaimana dimaksud UU No. 1 Tahun 1974, sekaligus tetap melindungi ruang privat masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Universitas Andalas, Prof. Yuliandri mengatakan untuk memahami dan menjawab pertanyaan mengapa KUHP dibutuhkan maka diperlukan sosialisasi. Ada tiga esensi dasar KUHP antara lain mewujudkan UU nasional yang dasar filosofinya Pancasila, bagaimana menyesuaikan kondisi politik nasional, dan keseimbangan keadilan dalam hukum pidana.
“Ada tenggat waktu yang diberikan secara efektif selama 3 tahun. Itu ada makna yang ingin dicapai. Dengan KUHP ini akan hadir banyak skiripsi, tesis dan kajian yang menjadikan KUHP sebagai objek penelitian,” ucap Yuliandri.