KUHP Baru, Hukum Pidana Nasional yang Berdasarkan Pancasila
Padang – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) Padang menyelenggarakan sosialisasi KUHP baru di Santika Premier Hotel Padang, Sumatera Barat, Rabu (11/1).
Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof Dr R Benny Riyanto SH MH CN, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Pakar Hukum Universitas Trisakti Yenti Garnasih dan sebagai narasumber lainnya. Sementara peserta yang hadir dari unsur Forkominda, akademisi, praktisi hukum, penegak hukum, Toga, Tomas, Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
Sekjen Mahupiki, Dr. Ahmad Sofian mengatakan kegiatan Sosialisasi hari ini bertujuan untuk mendiseminasikan dan memplubilkasin kepada publik, sebagai sarana memberikan pengetahuan ke berbagai stake holder dan bekerjasama dengan sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
“Sosialisasi bertujuan untuk mendiseminasikan dan memplubilkasin kepada publik, sebagai sarana memberikan pengetahuan ke berbagai stake holder dan bekerjasama dengan sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN)” kata Dr. Ahmad.
Rektor Unand Padang, Yuliandri mengatakan untuk memahami dan menjawab pertanyaan mengapa KUHP dibutuhkan, maka diperlukan sosialisasi. Ada tiga esensi dasar, antara lain mewujudkan UU Nasional yang dasar filosofinya Pancasila, bagaimana menyesuaikan kondisi politik nasional, dan keseimbangan keadilan dalam hukum pidana. Ada 3 poin penting dalam penyesuaian KUHP, yaitu perlu penyesuaian dengan kondisi jaman, pengaturan hukum pidana untuk mengantisipasi perkembangan budaya, dan kepastian hukum.
“Untuk memahami dan menjawab pertanyaan mengapa KUHP dibutuhkan, maka diperlukan sosialisasi. Ada 3 poin penting dalam penyesuaian KUHP, yaitu perlu penyesuaian dengan kondisi jaman, pengaturan hukum pidana untuk mengantisipasi perkembangan budaya, dan kepastian hukum.” ucap Yuliandri
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. R. Benny Riyanto SH, MH, CN mengatakan KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS) yang diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Wvs blm ada terjemahan resmi masih dalam bahasa Belanda. Sehingga memunculkan berbagai terjemahan yang berpotensi multitafsir.
“KUHP dari Belanda memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS) yang diadopsi menjadi hukum nasional. Wvs masih menggunakan bahasa Belanda. Sehingga memunculkan berbagai terjemahan yang berpotensi multitafsir,” kata prof. Benny.
Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Pada tahun 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional. Tahun 1964 mulai disusun draf Buku I sampai sekarang sudah ada 25 draf.
“Pembaruan KUHP dimulai 1958 ditandai berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Tahun juga 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional dan tahun 1964 mulai disusun draf Buku I sampai sekarang sudah ada 25 draf” tambahnya.
Prof. Benny menambahkan bahwa tanggal 18 September 2019, draft RUU KUHP sebenarnya sudah siap utk dibahas dan disetujui. Namun karena Presiden Jokowi menyadari perlu adanya penundaan didalam penetapan paripurna karena beberapa persoalan yg perlu dituntaskan yakni terkait 14 isu krusial. Pemerintah juga meneruskan pembahasan melakukan dua langkah menerima masukan dari stakeholder dan masyarakat sipil termasuk praktisi hukum.
“Draft RUU KUHP sebenarnya sudah siap utk dibahas dan disetujui. Namun karena presiden menyadari perlu adanya penundaan didalam penetapan paripurna karena beberapa persoalan yg perlu dituntaskan yakni terkait 14 isu krusial” pungkas Prof. Benny.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo yang juga anggota tim perumus KUHP baru, mengatakan terdapat kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum dasar terjadi penyimpangan asas legalitas. Ini sama sekali tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah.
“Ada kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum dasar terjadi penyimpangan asas legalitas. Hal ini tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah” katanya.
Ditambahkannya, bahwa aborsi diatur dalam 346 – 349 merupakan delik dari jaman belanda. Aborsi diperbolehkan dengan pengecualian yakni adanya indikasi kedaruratan medis atau Si perempuan merupakan korban perkosaan atau kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan dengan usia kehamilan tidak lebih dari 14 minggu. Kami mendapatkan rekomendasi dari ormas Islam terkait ketentuan aborsi tidak lebih dari 14 minggu.
“Aborsi diperbolehkan dengan pengecualian yakni adanya indikasi kedaruratan medis atau perempuan merupakan korban perkosaan atau kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan dengan usia kehamilan tidak lebih dari 14 minggu. Kami mendapatkan rekomendasi dari ormas Islam terkait ketentuan aborsi tidak lebih dari 14 minggu” kata prof. Harkristuti.
Sementara untuk penyerangan harkat martabat presiden, menurut Prof. Harkristuti bahwa menghormati sesama sebagai refelksi nilai nilai sosial dan sublimasikan penghormatan kepada orang lain. Ada dua pasal yang digabungkan beberapa pasal sudah didrop di KUHP. Sanksi pidananya tidak lebih dari 5 tahun, tidak semua juga dipenjara.
“Untuk penyerangan harkat martabat presiden, agar menghormati sesama sebagai refelksi nilai nilai sosial dan sublimasikan penghormatan kepada orang lain. Ada dua pasal yang digabungkan beberapa pasal sudah didrop di KUHP. Sanksi pidananya tidak lebih dari 5 tahun, tidak semua juga dipenjara. Ini membantah anggapan semua akan dipenjara” katanya.
Pakar Hukum Universitas Trisakti yang juga Ketua Umum Mahupiki, Dr. Yenti Garnasih mengatakan ada banyak keunggulan KUHP yang baru meskipun masih ada penolakan seperti anggapan overkriminalisasi. Perlu adanya dekolonialisasi dengan mendobrak melalui pasal-pasal baru di KUHP ini. Keunggulan KUHP sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern ada 17 poin, diantaranya adalah bertitik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas serta Tujuan dan Pedoman Pemidanaan.
“Banyak keunggulan KUHP yang baru meskipun masih ada penolakan seperti anggapan overkriminalisasi. Ada beberapa poin keunggulan KUHP sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern, diantaranya adalah asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas serta Tujuan dan Pedoman Pemidanaan,” ungkap Dr. Yenti.
Ditambahkan oleh Dr. Yenti bahwa penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method adalah proses yang dilakukan dalam kelompok untuk mensurvei dan mengumpulkan pendapat dari para ahli terkait penentuan maksimum pidana pada masing-masing tindak pidana. Adanya kemungkinan pengaruh individual otomatis dihilangkan. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sebaran pendapat dari para ahli ataupun poin-poin yang telah disepakati.
“Penentuan sanksi pidana Modified Delphi Method adalah proses yang dilakukan dalam kelompok untuk mensurvei dan mengumpulkan pendapat dari para ahli terkait penentuan maksimum pidana pada masing-masing tindak pidana. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sebaran pendapat dari para ahli ataupun poin-poin yang telah disepakati” katanya.