KUHP Baru Sangat Demokratis
Oleh : Farrel Haroon Jabar )*
KUHP Nasional terbaru memiliki visi dan misi untuk lebih mengedepankan demokratisasi pada sebuah negara hukum dan terus menjamin adanya kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat ketika hendak menyalurkan kritikan mereka kepada pemerintah.
Menyadari bagaimana kondisi dan situasi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa bangsa ini memang memiliki karakter dengan tingkat diversitas yang tinggi, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Pemerintah RI terus berupaya untuk menjembatani berbagai macam perbedaan sudut pandang dalam membentuk Undang-Undang (UU), termasuk juga tatkala seluruh proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang kini sudah resmi disahkan menjadi KUHP Nasional terbaru.
Dengan adanya upaya Pemerintah RI bersama dengan DPR RI untuk menjembatani seluruh perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam ini, maka memang pengesahan KUHP Nasional menjadi langkah besar dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Terkait hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Prof. Edward Omar Sharif Hiariej memastikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru saja diundangkan pada 2 Januari 2023 lalu memang bersifat sangat demokratis.
Bukan tanpa alasan, pasalnya menurutnya hal itu mengacu pada salah satu visi dan misi tatkala pembentukan KUHP Nasional, yakni adanya demokratisasi hukum pidana di Indonesia. Wamenkumham RI tersebut juga menegaskan bahwa sama sekali tidak benar apabila kelahiran KUHP Nasional dikatakan mengekang adanya kebebasan dalam berpendapat bagi siapapun, selama memang masih dalam kaidah yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Lebih lanjut, dirinya mengungkapkan bahwa apa yang telah dirumuskan oleh para pembentuk dan para perumus KUHP Nasional, memang telah merujuk pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah diuji secara materiil, baik itu terhadap pasal-pasal yang menyangkut dengan penyerangan harkat martabat presiden dan atau wakil presiden, hingga pada pasal-pasal mengenai penyebaran kebencian.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD juga menyampaikan dalam pemaparannya bahwa KUHP terbaru ini sama sekali tidak diciptakan untuk membatasi adanya kebebasan berpendapat dan sama sekali tidak membatasi adanya kritikan oleh seluruh elemen masyarakat terhadap pemerintah.
Bahkan, Menko Polhukam juga menambahkan bahwa terdapat dua alasan kuat untuk bisa menjawab tudingan bahwa seolah-olah KUHP Nasional adalah sebuah produk hukum yang anti demokrasi. Pertama, menurutnya adalah adanya aturan terkait menyampaikan pendapat di muka umum atau kritik terhadap pemerintah sendiri sejatinya sudah diatur dalam KUHP lama.
Sehingga, hal tersebut berarti aturan ini sama sekali bukanlah hal yang baru dan juga bukan hal khusus yang dimunculkan dalam KUHP Nasional. Justru, menurut Prof. Mahfud MD, yang terjadi di tengah masyarakat adalah bukan upaya untuk memberikan kritik namun lebih kepada penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden namun mereka berlindung dalam frase ‘kebebasan berpendapat’.
Selanjutnya, alasan kedua mengapa KUHP Nasional terbaru ini bukanlah sistem hukum yang anti demokrasi adalah lantaran keberlakuan dari sistem hukum asli buatan anak bangsa ini akan berlaku setelah masa transisi yang berlangsung selama 3 (tiga) tahun sejak disahkan pada akhir 2022 lalu, sehingga akan benar-benar berlaku secara menyeluruh baru pada tahun 2025 mendatang.
Artinya, KUHP Nasional in akan berlaku, tatkala masa Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden RI, Joko Widodo juga telah berakhir. Maka apabila masih terdapat sebuah pendapat yang menyatakan bahwa seolah-olah KUHP baru merupakan sebuah produk pemerintah saat ini dan dinilai anti-kritik, maka dipastikan seluruh anggapan tersebut telah terbantahkan karena KUHP Nasional sendiri akan benar-benar efektif pada pemerintahan selanjutnya setelah era Presiden Jokowi.
Pada kesempatan lain, Ketua DPR RI, Puan Maharani menyampaikan bahwa KUHP Nasional merupakan sebuah upaya adanya rekodifikasi terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana dan mampu menjadi jawaban atas perkembangan yang ada di masyarakat saat ini. Bahkan, sebenarnya Pemerintah RI sendiri sudah melakukan diskusi mengenai perubahan KUHP lama peninggalan jaman kolonial Belanda sejak tahun 1963 silam.
Menurutnya perubahan tersebut menjadi sangat penting lantaran memang kondisi dan stuasi di Indonesia sudah sangat signifikan berbeda apabila dibandingkan dengan bagaiaman situasi dan kondisi saat masa kemerdekaan dulu. Sehingga, dengan adanya KUHP Nasional menjadi upaya reformasi hukum pidana di Tanah Air.
Demokratisasi yang selama ini terdapat di Indonesia, tatkala masyarakat mampu secara bebas mengungkapkan kritik mereka akan kinerja dari pemerintah yang sedang berjalan sama sekali tidak akan terganggu dengan adanya penerbitan KUHP Nasional. Pasalnya, justru KUHP Nasional sendiri dibuat untuk lebih menjamin adanya demokratisasi di negara hukum seperti di Tanah Air.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara