KUHP Baru Sudah Ideal Untuk Sistem Hukum Indonesia
Oleh : Dewi Lestari Ayu )*
DPR RI telah mensahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada 6 Desember 2022 lalu, dan KUHP yang baru itu merupakan produk murni buatan anak bangsa, untuk menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda. KUHP yang baru, telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia saat ini dan juga lebih dekat dengan filosofis Pancasila, UUD, serta norma di masyarakat.
Jika menelisik sejarahnya, semangat rekodifikasi dan reformulasi KUHP sebenarnya telah digaungkan sejak 1958. Saat itu, pemerintah membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional guna mengkaji KUHP warisan Belanda. Lembaga ini kemudian mengadakan Seminar Hukum Nasional I sebagai tonggak dilaksanakannya pembaharuan KUHP. Langkah konkret pembaruan KUHP ini baru terealisasi pada tahun 1968.
Sejak saat itu, upaya pembaharuan hukum pidana melalui reformulasi KUHP ini terus berlangsung hingga 1992. Namun, pembahasan di parlemen baru dimulai pertama kali pada 2013, saat pemerintah mengusulkan RKUHP untuk dimasukan dalam Prolegnas Prioritas 2013.
Pada acara sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) di Medan, Sumatera Utara, Senin (9/1), Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Undip Semarang, Pujiyono, menyatakan pembaruan KUHP pada hakikatnya bukan pembaharuan norma, tetapi pembaharuan ide dasar. Karena KUHP yang kita miliki saat ini sebetulnya berdasarkan pada ide dasar individualis liberal yang bertentangan dengan konsep ide dasar monodualistik.
Menurutnya, KUHP baru merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta HAM yang bersifat universal.
Jika mencermati hasil penyempurnaan KUHP secara keseluruhan, diakui terdapat pembaharuan pengaturan yang mengarah pada perlindungan masyarakat, antara lain pengaturan mengenai pidana kerja sosial yang belum diatur sebelumnya, perlindungan saksi dan korban, rekayasa kasus, serta pencabutan beberapa pasal yang dianggap bermasalah dalam undang-undang lainnya.
Perlu dipahami bahwa pembentukan hukum untuk mengatur ketertiban bernegara memang menjadi otoritas pemerintah. Pemerintah memiliki daya paksa melalui hak prerogatifnya untuk memperbolehkan dan melarang hal-hal yang dianggap mengganggu ketertiban bernegara. Namun, tetap dalam koridor “Kepentingan Rakyat” inilah yang membuat KUHP ini tetap humanis dengan mengedepankan aspirasi serta keluh kesah masyarakat dan selalu memberi ruang dalam berdialektika kebangsaan.
Selain melibatkan akademisi dan pakar hukum pidana, diskusi publik serta sosisalisasi ini perlu dilakukan kepada berbagai lapisan masyarakat termasuk mahasiswa, organisasi masyarakat, penegak hukum, dan lembaga bantuan hukum. Didalam KUHP itu bisa memberikan keadilan, memberikan perlindungan bagi korban dan termasuk juga memberikan perlindungan pada masyarakat.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto mengatakan penolakan atau pro dan kontra sebuah produk hukum adalah hal yang wajar dan biasa.
Oleh karena itu setelah disahkannya KUHP baru, proses sosialisasi mutlak sangat diperlukan, agar maksud dan tujuan dibuatnya KUHP yang baru dapat tersalurkan dengan baik kepada elemen-elemen publik secara luas.
Dengan sosialisasi tersebut masyarakat diharapkan mengetahui dan memahami isi dari KUHP yang baru dan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahaminya. Sosialisasi norma serta pasal-pasal yang ada dalam KUHP merupakan tanggung jawab dari semua pihak, tidak terkecuali oleh kalangan akademisi yang berada di lingkungan kampus.
Ketua Senat Akademik Universitas Indonesia, Surastini Fitriasih, mengatakan sejumlah isu-isu krusial di dalam KUHP terus berkembang seiring waktu, namun sebenarnya itu bersifat subjektif. Dari sejumlah pasal-pasal krusial yang diidentifikasi, semua berkembang sangat dinamis setiap saat, misalnya isu soal unjuk rasa yang menyebabkan kerusuhan, baru akhir-akhir ini muncul.
KUHP baru telah melalui perjalanan yang panjang hingga sampai disahkan. KUHP baru tersebut telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif oleh pemerintah dan DPR, serta juga telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik. Oleh karenanya, KUHP baru ini dinilai sudah ideal untuk sistem hukum Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat hukum One Institute