KUHP Nasional Mampu Tegakkan Hukum Berkeadilan dan Berkemanusiaan
Oleh : Aulia Hawa )*
KUHP Nasional jelas akan mampu lebih menegakkan hukum di Indonesia yang berlandaskan kepada keadilan dan kemanusiaan lantaran di dalamnya memungkinkan ada banyak alternatif sanksi lainnya dan bukan hanya semata pemenjaraan yang merampas hak kemerdekaan seseorang.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah secara resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang ditujukan untuk mengganti keberlakuan sistem hukum produk jaman kolonial Belanda yang memang telah sangat lama berlaku di Tanah Air.
Dalam kelahiran KUHP Nasional tersebut, tentunya jika dibandingkan secara langsung dengan KUHP lama, maka sistem hukum buatan anak bangsa itu memiliki banyak sekali keunggulan. Mengenai beberapa keunggulan yang dimiliki KUHP Nasional, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Yenti Ganarsih menyatakan bahwa terkait tujuan pemidanaan dan juga pedoman pemidanaan telah sangat berbeda.
Bagaimana tidak, pasalnya sudah diatur dengan jauh lebih detail dan juga memuat adanya tujuan hingga pedoman pemidanaan jauh lebih jelas daripada KUHP lama. Tentunya hal tersebut sangat memungkinkan KUHP Nasional dalam penegakan hukumnya akan menjadi jauh lebih berkeadilan.
Bukan hanya itu, Yenti Ganarsih juga berpendapat bahwa dengan adanya KUHP Nasional, maka akan mampu untuk mengurangi berbagai masalah pemidanaan dengan jauh lebih baik, yang mana ketika terdapat masalah pidana yang sebenarnya sangat jauh berbeda namun dengan kasus yang sama atau hampir sama, biasanya langsung dianggap itu adalah sebuah kasus yang sama.
Sedangkan dalam keberlakuan KUHP Nasional ini, sebelum seseorang bisa ditindak dan dipidanakan, maka akan ada banyak hal lain sebagai pertimbangan oleh hakim sehingga secara otomatis beberapa hal rumit mengenai sistem hukum di Indonesia sebelumnya mampu teratasi dengan baik.
Yenti juga menambahkan bahwa KUHP Nasional dirancang oleh Pemerintah RI dengan sangat berimbang, yakni mampu mencakup banyak kepentingan dari berbagai pihak sekaligus, mulai dari kepentingan di level pribadi, masyarakat hingga negara.
Dirinya memberikan contoh erkait dengan adanya pasal perzinahan yang telah diatur dalam KUHP Nasional dan belakangan ini sempat menjadi sebuah polemik di tengah masyarakat. Menurutnya, dalam pasal perzinahan yang telah termaktub dalam sistem hukum baru ini membuat tidak akan ada lagi aksi-aksi razia hingga penggerebekan yang justru berujung pada main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat seperti yang terjadi di Tanah Air.
Dalam ketentuan di pasal perzinahan KUHP Nasional, beberapa pihak yang diberikan kewenangan untuk bisa melakukan pelaporan apabila disinyalir terdapat praktik perzinahan adalah suami atau istri yang memang masih dalam status perkawinan yang sah, kemudian pihak anak dan juga orang tua dari pelaku yang bersangkutan.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Semarang Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, M.Hum, mengungkapkan bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini, adalah warisan kolonial Belanda. Oleh karena itu, pengesahan KUHP nasional dinilai sebagai langkah yang tepat.
Menurutnya, ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif. Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya, KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser.
Upaya pembaruan KUHP sebenarnya dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Pada tahun 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional. Tahun 1964 mulai disusun draf Buku I sampai sekarang sudah ada 25 draf.
Tanggal 18 September 2019, draft RUU KUHP sebenarnya sudah siap utk dibahas dan disetujui. Namun karena Presiden Jokowi menyadari perlu adanya penundaan didalam penetapan paripurna karena beberapa persoalan yg perlu dituntaskan yakni terkait 14 isu krusial. Pemerintah juga meneruskan pembahasan melakukan dua langkah menerima masukan dari stakeholder dan masyarakat sipil termasuk praktisi hukum.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo yang juga anggota tim perumus KUHP baru, mengatakan terdapat kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum dasar terjadi penyimpangan asas legalitas. Ini sama sekali tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah.
Saat ini ada kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum dasar terjadi penyimpangan asas legalitas. Hal ini tidak benar karena living law merupakan ketetentuan yang ditemukan secara ilmiah.
Sementara untuk terkait penyerangan harkat martabat presiden, bahwa menghormati sesama sebagai refelksi nilai nilai sosial dan sublimasikan penghormatan kepada orang lain. Ada dua pasal yang digabungkan beberapa pasal sudah didrop di KUHP. Sanksi pidananya tidak lebih dari 5 tahun, tidak semua juga dipenjara.
Keberadaan KUHP nasional dianggap sebagai sebuah langkah yang tepat. Di dalam KUHP Nasional juga telah menampung banyak aspirasi hingga beragam perspektif dari masyarakat di Indonesia, sehingga kedepan penegakan hukum di Indonesia menjadi jauh lebih berkeadilan dan juga berkemanusiaan.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute