KUHP Relevan Dengan Perkembangan Masyarakat
Jakarta – Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional menganut model kodifikasi terbuka dan terbatas, maka dari itu, sistem hukum milik anak bangsa ini terus memungkinkan adanya relevansi dengan berbagai macam perkembangan hingga dinamika yang terjadi di masyarakat.
Pada rapat paripurna yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa, 6 Desember 2022 lalu, telah secara resmi mengesahkan KUHP Nasional menjadi sistem hukum yang berlaku dan akan segera menggantikan posisi KUHP lama buatan jaman kolonial Belanda dalam waktu dua tahun ke depan.
Mengenai pengesahan tersebut, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa memang sejatinya pembentukan sistem hukum buatan anak bangsa tersebut telah sangat sesuai dengan paradigma hukum modern internasional.
Bukan hanya itu, namun di dalamnya juga jauh lebih relevan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat pada jaman sekarang apabila dibandingkan dengan KUHP lama buatan Belanda, yang bahkan sudah diproduksi sejak lebih dari 100 tahun silam. Beberapa ketentuan hukum internasional bahkan telah diakomodasi dalam KUHP Nasional.
Ketentuan hukum internasional yang diakomodasi tersebut adalah adanya ketentuan pidana mati bersyarat. Jika sebelumnya, ketentuan pidana mati adalah sebuah pidana pokok yang terkesan sudah sama sekali tidak bisa ditawar lagi, namun dengan ketentuan hukum internasional dan juga paradigma hukum modern yang jauh lebih menjunjung tinggi keberadaan hak asasi manusia (HAM), maka pidana mati dilakukan dengan bersyarat.
Prof. Romli menjelaskan bahwa persyaratan yang ada dalam ketentuan pidana mati tersebut masih tetap ada alternatif lainnya, yang mana sama sekali tidak digunakan sebagai sebuah pidana pokok. Bahkan, terpidana masih diberikan kesempatan untuk menjalani proses percobaan selama 10 tahun dan diberikan penilaian apakah dirinya mampu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik atau tidak dari sebelumnya, sebelum nanti diputuskan lebih lanjut bagaimana tindakan yang akan diberlakukan kepada terpidana itu.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto menjelaskan pula bahwa dalam KUHP Nasional juga telah sangat jelas diatur mengenai tujuan pemidanaan, yang mana termaktub dalam Pasal 51, yang bertujuan untuk bisa melakukan pencegahan akan adanya suatu potensi tindak pidana dengan menegakkan norma hukum di masyarakat.
Bukan hanya itu, namun dalam sistem hukum pidana yang merupakan buatan asli anak bangsa ini juga sangat memungkinkan seorang terpidana bisa kembali dimasyarakatkan dengan adanya skema pembinaan dan juga pembimbingan supaya sang terpidana ini nantinya akan menjadi seseorang yang jauh lebih baik dan juga lebih berguna bagi sekitarnya.
Terkait dengan aturan pedoman pemidanaan yang tertuang dalam KUHP Nasional, Prof. Marcus menambahkan bahwa hakim wajib untuk bisa menegakkan hukum dan juga keadilan dalam saat yang bersamaan. Bahkan apabila misalnya terjadi suatu kondisi tertentu yang mengakibatkan adanya perbedaan antara penegakan hukum dengan aspek keadilan, maka wajib bagi hakim untuk lebih mengutamakan penegakan aspek keadilan.
Kemudian pada kesempatan lain, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universtas Diponegoro (Undip), Prof. Pujiyono mengungkapkan bahwa adanya pembaharuan yang terdapat dalam KUHP Nasional telah menggunakan sebuah model kodifikasi terbuka dan terbatas.
Maka, dengan model kodifikasi terbuka dan terbatas itu, berarti sistem hukum buatan anak bangsa ini masih sangat memiliki keterbukaan ruang yang lebar untuk terus mengikuti banyaknya perkembangan yang terus terjadi di masyarakat. Bahkan, ketentuan dalam Pasal 187 KUHP terbaru itu memungkinkan adanya suatu aturan, yang apabila memang dinilai sangat penting untuk ditambahkan, namun masih berada di luar KUHP, maka bisa saja ditambahkan sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Dengan adanya model kodifikasi terbuka dan terbatas itu, tentu KUHP Nasional memiliki sifat yang jauh lebih terbuka dan juga sebagai sebuah solusi untuk mengatasi adanya kekakuan hukum yang sebelumnya ada dalam KUHP lama buatan Belanda, lantaran penegakan hukum hanya bisa terjadi apabila sesuatu sudah tertulis dalam Undang-Undang, namun kurang mampu untuk lebih mengakomodasi terjadi perkembangan di masyarakat.
Sedangkan, sama sekali tidak bisa dipungkiri bahwa dunia sosial dan hukum di masyarakat terus saja mengalami perkembangan dan perubahan atau dinamika. Sehingga apabila sebuah sistem hukum yang dimiliki oleh suatu negara sama sekali tidak bisa mengakomodasi adanya perubahan tersebut, justru juga mempersulit upaya penegakan hukum di negara itu sendiri. Aspek relevansi ini memang menjadi hal yang sangat amat penting, dan utamanya bahkan menjadi salah satu alasan mengapa sangat penting KUHP lama digantikan posisinya dengan KUHP Nasional, lantaran dalam sistem hukum produk Belanda itu sudah sangat usang dan tentu tidak sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat sekarang. Namun akan sangat berbeda dengan KUHP Nasional yang menganut adanya kodifikasi terbuka dan terbatas, sehingga mampu untuk terus memiliki relevansi dengan perkembangan masyarakat.