KUHP Relevan Dengan Perkembangan Zaman
Oleh: Agung Budiyanto *)
Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP) telah disusun dan disahkan sedemikian rupa agar relevan dengan perkembangan zaman. Memang terdapat beberapa isu krusial dalam UU KUHP yang baru disahkan oleh pemerintah dan perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas.
KUHP yang berlandaskan Pancasila, perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika masyarakat masa kini. Bambang Gunawan selaku Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi DAN Informatika (Kominfo), menyatakan bahwa KUHP baru ini telah disusun oleh pemerintah sejak tahun 1970-an diharapkan dapat menjadi UU yang relevan bagi masyarakat Indonesia.
Terdapat sejumlah isu krusial dalam pasal KUHP yang perlu disosialisasikan lebih luas antara lain, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, larangan penghasutan kepada penguasa, pidana mati, serta penodaan agama. Isu krusial lainnya seperti kejahatan kesusilaan, pencabulan, perzinahan serta living of law.
Bambang menuturkan, UU KUHP pernah disusun pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 dan 2012. Kemudian pada era Presiden Joko Widodo penundaan terhadap pengesahan KUHP tersebut dilakukan agar regulasi tersebut mendapat masukan dari masyarakat, hingga pada akhirnya UU KUHP telah disahkan beberapa waktu lalu oleh DPR RI.
Sebelumnya, Kementerian Kominfo juga telah melakukan kick off Sosialisasi UU yang terdapat dalam KUHP pada 23 Agustus 2022 untuk memberikan pemahaman dan ruang dialog kepada masyarakat. Oleh karena itu, Bambang menambahkan bahwa masyarakat telah memberikan masukan yang konstruktif dalam KUHP yang baru disahkan tersebut.
Perlu diketahui bahwa salah satu bentuk cerminan nilai pancasila dalam KUHP ialah munculnya konsep asa legalitas materiil dalam pasal 2 KUHP. Pasal 2 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang undang”
Pasal tersebut didasari dari sebuah pemahaman bahwa hukum tidaklah terbatas pada suatu aturan tertulis atau undang-undang saja melainkan terdapat pula hukum yang tidak tertulis. Sehingga dengan adanya Pasal 2 KUHP tersebut dapat memberikan ruang bagi aparat penegak hukum khususnya bagi hakim untuk dapat menggali hukum yang hidup di masyarakat dalam upaya menciptakan keadilan.
Apabila ditelisik lebih dalam, pasal 2 KUHP ini berangkat dari kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman budaya di setiap daerahnya. Di mana terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masih meyakini hukum yang hidup sejak nenek moyangnya meskipun tidak dilakukan kodifikasi secara tertulis.
Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara yang sudah final, sehingga keberadaannya harus menjadi norma dasar dalam penyusunan undang-undang ataupun regulasi.
Wakil Kepala BPIP, Dr. Drs. Karjono, S.H., M.Hum, mengatakan bahwa KUHP ini merupakan bentuk nyata yang telah dihimpun dalam bentuk masukan-masukan dari berbagai pihak untuk menyamakan persepsi masyarakat terhadap pasal dalam KUHP. Karjono menyebutkan, KUHP ini sebagai bentuk pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan serta melibatkan masyarakat.
Wakil Kepala BPIP tersebut juga menekankan bahwa pancasila sebagai landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna mencapai cita-cita hukum. Dirinya berharap dengan gotong royong dan berbagai pandangan yang telah menjadi masukan dalam pembentukan KUHP tersebut, mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik, berlegitimasi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tentu tidak mudah bagi sebuah negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu, kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah, DPR RI dan seluruh elemen masyarakat telah terjalin kuat untuk mewujudkan KUHP Nasional yang baru.
KUHP yang telah disahkan memang sangat diperlukan oleh Indonesia khususnya terkait dengan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Benny Rianto selaku Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) mengungkapkan, bahwa KUHP yang telah disahkan telah mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana.
Dirinya menjelaskan ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya).
Benny juga mengungkapkan bahwa adanya protes terhadap pasal KUHP sebelumnya diprakarsai oleh minimnya keterlibatan partisipasi publik dan beberapa pasal yang kontroversial. Namun, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui diskusi dan seminar untuk mensosialisasikan pasal-pasal yang terdapat pada KUHP baru.
Benny menambahkan KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa. Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 477 misalnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya dan bangsa di mana persetubuhan dengan anak di bawah usia 18 tahun, meski didasari suka sama suka, hal tersebut dikategorikan sebagai perkosaan. Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam KUHP baru adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila.
Perkembangan zaman adalah keniscayaan, sehingga penyesuaian terhadap norma serta undang-undang merupakan langkah yang telah ditempuh agar regulasi saat ini sesuai perkembangan zaman.
*) Penulis adalah Kontributor Pertiwi Institute