Kunjungan PM China dan Peluang Masa Depan Ekonomi Indonesia
Oleh: Amamur Rohman )*
“Kita harus bekerja sekeras-kerasnya untuk membangun Indonesia menjadi Negara maritim. Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Ini saatnya Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya.” itu adalah potongan pidato Presiden Jokowi saat dilantik oleh Dewan Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2014 lalu.
Salah satu nawacita Presiden Jokowi adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sebagai Negara yang garis pantainya terpanjang ke dua di dunia, sudah saatnya Indonesia memperhatikan maritim yang selama ini banyak terbengkalai. Padahal potensi maritim Indonesia sangatlah besar jika dilihat dari kuantitas wilayahnya.
Pada tahun 2018 ini, tepatnya pada tanggal 06 Mei 2018, Perdana Menteri China, Li Keqiang berencana melakukan kunjungan ke Indonesia. Tentunya kunjungan kali ini tidak hanya sekedar kunjungan. Kunjungan kali ini mempunyai simbol tersendiri bagi kedua Negara, karena kedua Negara mempunyai kepentingan ekonomi masing-masing. China melalui Presiden Xi Jinping mempunyai proyek besar yang disebut dengan one belt one road (OBOR) atau dalam bahasa Indonesianya satu sabuk satu jalan. Kebijakan China ini tak lepas dari pengaruhnya sebagai Negara adidaya di bidang ekonomi bahkan mengalahkan Amerika Serikat sebagai Negara adikuasa.
Sebagian pengamat mengatakan bahwa inisiasi China untuk melakukan kebijakan OBOR ini sebenarnya dipengaruhi oleh keadaan ekonomi global, yakni pengaruh Amerika yang kemungkinan besar akan menutup komoditi asing khususnya dari China, sedangkan Amerika merupakan tujuan ekspor utama China yang mencapai 18%. Oleh sebab itu, jika Amerika resmi menutup komoditi dari China, maka ekonomi China merosot secara signifikan, karena pangsa pasar terbesarnya sudah tidak ada lagi. Di lain pihak, keputusan Inggris yang keluar dari Uni Eropa juga berdampak pada China. Ekspor China ke Inggris menurun dari tahun 2015 yang berjumlah 8,3 miliar USD, pada tahun 2017 hanya di kisaran 7,5 miliar USD. Dalam kondisi seperti ini, tentu China tidak akan tinggal diam. China yang dikenal sebagai Negara pemimpin ekonomi dunia tentunya akan melakukan berbagai cara agar reputasi sebagai Negara pemimpin ekonomi tidak turun, salah satunya dengan membuat kebijakan one belt one road (OBOR).
One belt one road ini merupakan kebijakan China untuk memudahkan kegiatan ekonominya, tentu yang menjadi sasaran adalah Negara-negara tetangga termasuk kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2013 lalu, Presiden China sempat berkunjung ke Indonesia dan salah satu agendanya adalah mensosialisasikan kebijakan OBOR. Dalam kesempatan tersebut Presiden China menyampaikan gagasannya di hadapan parlemen dengan mengusulkan pendirian Bank Investasi Pembangunan Asia untuk mendanai pembangunan infrastruktur serta mengintegrasikan ekonomi kawasan.
Peluang Indonesia
Hubungan Indonesia dan China merupakan hubungan ekonomi makro yang mempunyai sasaran-sasaran. Setidaknya ada empat hal yang menjadi sasaran dan tekanan di setiap kegiatan ekonomi antar Negara. Pertama, memaksimalkan tenaga kerja dan output yang pada umumnya merupakan fungsi langsung dari tenaga kerja. Kedua, pertumbuhan ekonomi. Penekanan ini diperlukan karena adanya pertumbuhan populasi dan besarnya populasi yang memasuki pasar tenaga kerja. Ketiga, tingkat harga yang stabil. Pilihan ini diambil mengingat jika terjadi fluktuasi harga yang tinggi maka risiko ekspansi modal akan meningkat yang berdampak pada turunnya investasi di dunia usaha. Keempat, stabilitas neraca pembayaran yang berkenaan dengan hubungan luar negeri dan cadangan devisa.
Melihat empat hal yang berkenaan dengan ekonomi makro di atas, tentunya Indonesia tidak ingin jika pertumbuhan ekonominya melambat. Satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah memanfaatkan peluang dengan China dengan cara ikut mensukseskan ide one belt one road. Indonesia selama ini sudah sedikit memanfaatkan peluang tersebut dengan diadakannya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang bekerja sama dengan China Development Bank.
Peluang Indonesia, dalam hal ini dengan China sangat besar, karena jika pemerintah melalui Presiden bisa melakukan lobi-lobi yang menguntungkan Indonesia, khususnya meminta investasi yang besar dari China, maka sudah tidak diragukan lagi Indonesia di masa depan akan menjadi Negara yang mengikuti China dalam hal menjadi pemimpin ekonomi dunia. Namun dalam kenyatannya, sesuai populasi yang dimiliki Indonesia, Indonesia masih mendapatkan sedikit Investasi daripada Negara lain seperti Pakistan yang mencapai 62 miliar USD, Malaysia yang mencapai 30 miliar USD dan Filipina yang mencapai 24 miliar USD. Sementara Indonesia, yang mempunyai populasi 260 juta penduduk ini hanya mendapatkan investasi dari China sebesar 5 miliar USD.
Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk meyakinkan China bahwa Indonesia, dengan potensi maritim yang begitu besar bisa membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi China. Tol laut bisa menjadi alternatif utama dalam dalam melangsungkan kerja sama. Pengoptimalan tenaga kerja dan output Negara yang diperoleh tentunya menjadi alasan utama. Dengan adanya tol laut, serapan tenaga kerja bisa maksimal, output ekspor yang dilakukan Indonesia kepada Negara tetangga juga menjadi mudah dan ramah biaya yang pada akhirnya berdampak pada murahnya harga komoditi ekspor barang Indonesia ke negara lain. Jika telah demikian, maka Negara kawasan akan terus melirik Indonesia untuk menjadi sasaran impor utama dikarenakan harga komoditi yang lebih murah dari sebelumnya. Tenaga kerja pun bisa menjadi sangat optimal. Komoditi ekspor juga akan menjadi income yang signifikan bagi pemerintah.
Dengan demikian, sasaran-sasaran kebijakan ekonomi (economy policy) akan terwujud dengan sempurna. Output yang maksimal, pertumbuhan ekonomi, stabilnya harga, dan stabilnya neraca pembayaran akan selesai dengan cepat dan tepat yang menguntungkan ekonomi Indonesia.
Negosiator Ulung
Kedatangan Perdana Menteri China membuat Indonesia harus menyiapkan segalanya dengan matang. Indonesia harus menjadi negosiator ulung yang tidak kalah dari China. Presiden Jokowi yang mempunyai kapasitas seorang pelaku bisnis tentunya sangat paham bagaimana melakukan negosiasi yang elegan yang akhirnya mampu meyakinkan China untuk melakukan lebih banyak lagi nilai investasi yang diberikan China.
Berkali-kali Presiden Jokowi menerima tamu kepala Negara dan selalu menawarkan investasi untuk Indonesia. Salah satunya adalah raja Salman yang merupakan raja salah satu Negara kaya di dunia. Tahun 2014 lalu, Presiden Jokowi berkesempatan menyampaikan materi di Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Beijing China. Jokowi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menawarkan daya tarik Indonesia sebagai Negara yang tepat untuk melakukan investasi.
Indonesia sebagai Negara maritim sudah saatnya menjadi poros maritim. Dengan menjadi poros maritim, Indonesia akan menjadi poros ekonomi karena posisi Indonesia yang sangat strategis, berbatasan laut dengan Negara-negara besar seperti China dan Australia. Namun yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah sumber daya manusia yang perlu disiapkan untuk bersaing, karena jika tidak mempunyai daya saing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini, Indonesia akan tenggelam oleh peradaban. Jadi tidak usah ragu lagi bekerja sama dengan China!
)* Penulis adalah Pengamat Sosial Politik China