Mari Kembali Memupuk Semangat Toleransi di Indonesia
Oleh : Arjuna Wiwaha )*
Perbedaan merupakan sesuatu yang wajar, dengan berbagai banyak pulau, Indonesia memiliki keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan dialeg. Tarian tradisionalpun bermacam – macam, namun semua itu barsatu dalam sebuah semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam perbedaan, ada sebuah semangat yang harus terus dipupuk, yaitu sikap toleransi masyarakat sebagai ciri bangsa yang Bhineka.
Toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatau kelompok masyarakat.
Di Indonesia terdapat dua organisasi Islam dengan pengikut terbanyak, yakni NU dan Muhammadiyah. Walaupun kedua organisasi tersebut memiliki banyak pandangan yang berseberangan, namun ada satu benang merah yang menyatukan keduanya. Antara NU dan Muhammadiyah sama – sama memiliki sikap yang toleran terhadap agama lain, tidak berat sebelah dan menjalankan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupannya.
Seperti menurut budayawan nasional Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. NU dan Muhammadiyah itu sebenarnya tidak ada bedanya, karena Muhammadiyah itu artinya berkarakter Muhammad sementara NU bermakna kebangkitan ulama.
“Jadi kalau sudah ikut Muhammadiyah otomatis jadi NU, jadi ulama. Sebaliknya kalau ikut NU puncaknya ya jadi Muhammadiyah, berkarakter Muhammad. Jadi ayo bareng – bareng bangun Indonesia,” tutur Cak Nun.
Semangat dalam gerakan dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam semata – mata tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat, umat harus tetap bersatu. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang juga menjadi pelaku serta saksi dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, jadi keduanya biarlah menjadi wadah dan pengontrol untuk para umat muslim di Indonesia dalam melakukan kehidupannya.
Kita masih ingat bahwa dulu pada tahun 2012 ketika terjadi gesekan antar umat seperti di Bogor dimana penganut Ahmadiyah diusir dari wilayah mereka, di Wonosobo setidaknya terdapat 6000 penganut Ahmadiyah yang hidup aman dan tidak merasa takut akan diusir.
Bupati Wonosobo saat itu Abdul Kholiq Arif, mempersilakan semua umat beragama untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya. “Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman,” Ujar Mantan Bupati 2 Periode tersebut.
Menurut dia, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama – sama membayar pajak. Karena itu, ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah, tak terkecuali penganut Ahmadiyah.
Kepala Staf Kepresidenan Jendral TNI (Purn) Moeldoko menghimbau, Agar Indonesia bisa lebih maju, maka jangan ada lagi pemikiran yang membedakan antara mayoritas dan minoritas.
“Toleransi adalah tidak ada lagi minoritas dan mayoritas. Jika bangsa ini masih punya perasaan mayoritas dan minoritas maka tidak akan maju,” Ujar Moeldoko.
Moeldoko juga menuturkan, bahwa sejarah perjuangan bangsa dibangun oleh berbagai agama dan kelompok etnis. Karena itu, mulai saat ini hapus dikotomi antara mayoritas dan minoritas. “Semua sebagai agen perubahan untuk membetulkan pola pikir yang rusak, menyimpang dan terdistorsi sehingga pemikiran – pemikiran yang semula tidak benar lalu berubah,” terangnya.
Ia mencontohkan dalam gamelan Jawa, semua instrumen musik tradisional dimainkan bersama secara harmonis. Maka bisa menjadi sesuatu kekuatan yang indah, maka yang harus mengharmonisasi adalah semua orang. Keharmonisan ini juga tampak nyata di Indonesia keetika perayaan hari besar tiba. Di Wonosobo tak jarang perayaan hari raya di klenteng turut mengundang kaum non Konghucu untuk turut serta dalam mengikuti pergelaran pentas barongsai.
Selain itu semangat keberagaman juga tampak meriah di kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang. Dimana Ibu – ibu anggota pengajian kampung tersebut bahu – membahu membantu Pendeta Eka Laksa menyiapkan perayaan Natal di kediamannya, dari mulai memasak, menyajikan hidangan, hingga menata kursi.
“Ya karena saudara jadi harus bantu. Kamu bersaudara meski bukan saudara kandung. Karena tetangga kan akhirnya jadi saudara. Bahkan kami menggil beliau (Pendeta Eka Laksa) tidak pernah dengan sebutan nama, tapi Pak Dhe sama Bu Dhe,” tuturnya.
Pemandangan wanita berjilbab dan pria berpeci di kediaman Pendeta Eka Laksa saat perayaan Natal memang hal yang lumrah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang telah berlangsung selama belasan tahun. Mereka lebih memilih mengedepankan rasa persaudaraan, daripada persoalan agama.
Jika kita melihat sebuah tim sepakbola di Indonesia, maka kita akan dapat melihat betapa semangat mereka menggunakan jersey berlogo garuda berada di dada mereka. Mereka semua tidak hanya berasal dari satu etnis saja, tetapi mereka semua datang dari segala penjuru tanpa memandang suku, ras dan agama. Para pemain disatukan oleh sebuah semangat yaitu meningkatkan harga diri bangsa di kancah olahraga.
Toleransi yang hidup di Indonesia ternyata juga mendapatkan sorotan dari Perdana Menteri (PM) Denmark Lars Lokke Rasmussen, pihaknya memuji Indonesia lantaran menjadi contoh positif sebuah negara paling bertoleransi di Dunia.
“Saya berharap, dan saya percaya Indonesia akan terus menjadi contoh positif bagi dunia,” kata Rasmussen.
Perdana Mentri Rasmussen berharap, agar Presiden Jokowi dapat terus mendorong kehidupan bertoleransi dalam masyarakat global. Sebab, menurutnya, saat ini dunia internasional memerlukan pencegahan konflik agama dan saling menghormati antar sesama manusia.
)* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Indonesia