Masalah Papua Tidak Perlu Campur Tangan Asing
Oleh : Rebecca Marian )*
Akar masalah Papua berbeda dengan daerah lain, nyatanya kala itu Papua masih dikuasai Belanda saat itu sehingga dari 1945 sampai dengan 1969. Jika melihat sejarahnya tentu cara berpandangnya berbeda dengan daerah lain. Permasalahan ini tentu menjadi masalah internal Indonesia, sehingga tidak memerlukan campur tangan negara lain dalam mengatasi permasalahan yang ada di Papua.
Sedikitnya terdapat 8 perspektif dalam melihat permasalahan di Papua, yaitu perspektif politik, perspektif pemerintah, perspektif pertahanan dan keamanan, perspektif lingkungan hidup, perspektif hukum dan HAM, perspektif kesehatan, perspektif sosial budaya dan perspektif ekonomi.
Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi juga telah melakukan berbagai kegiatan serta program hampir di semua aspek, walaupun demikian ketika isu rasisme bergulir di pertengahan Agustus kemudian muncul kembali pihak – pihak yang menginginkan referendum atau Papua Merdeka seolah – olah semua program pemerintah seperti terlupakan.
Dalam Updating Papua Road Map LIPI 2012, permasalahan di Papua terbagi menjadi 3, yaitu internasionalisasi isu Papua, Penyelesaian masalah HAM dan perkembangan serta implementasi otonomi khusus.
Dunia internasional sempat memandang bahwa Indonesia telah berbuat jahat kepada Papua, hal ini disebabkan oleh kelompok separatis yang menyuarakan kemerdekaan bagi papua melalui berbagai lini masa di sosial media.
Berkembangnya isu rasisme dan demonstrasi di berbagai wilayah sampai pada berkibarnya bendera bintang kejora membuat banyak pihak bertanya bagaimana kedaulatan negara di tanah Papua.
Jika kita mendalami narasi pertahanan negara dalam rangka menjaga kedaulatan negara, sebetulnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah melakukan beragam upaya jauh – jauh hari sebelum munculnya aksi massa di sejumlah daerah tersebut.
Setelah dilantik pada 8 Desember 2017, hal – hal yang telah dilakukan demi memantapkan kedaulatan NKRI di Papua adalah membentuk Koops TNI AU III, membentuk Armada TNI AL III, penambahan 1 Brigif Raider (Bagian Divisi-Kostrad di Sorong Papua Barat), menempatkan skuadron udara di wilayah Indonesia Timur untuk mem- back up wilayah timur Indonesia, melakukan diplomasi terkait penundaan rotasi militer di Darwin serta pendekatan kemanusiaan seperti membentuk satgas gizi buruk untuk meminimalisasi gizi buruk di Asmat.
Panglima TNI juga terlibat langsung dan berdialog dengan berbagai tokoh adat, tokoh agama, tokoh kepemudaan, tokoh wanita, pemerintah daerah dan akademisi yang membidangi Papua. Dengan sisi humanisnya, ia sepertinya memainkan Quasi Hard Power Approach, yaitu dengan pendekatan dalam manajemen konflik dengan instrumen keras atau yang boleh melakukan hard power, namun menggunakan cara – cara atau pendekatan yang lembut (soft power).
Upaya tersebut juga ditunjang dengan soliditas TNI dan Polri yang terus dibangun menjadi hal positif dalam penanganan permasalahan di Papua. Kerja sama antar kementrian dan lembaga juga perlu dijalankan dengan menggandeng swasta dan masyarakat, hal ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat collaborative governance.
Masalah ini jelas tidak dipahami oleh negara lain apalagi dengan berbagai simpang siur yang ada. Padahal dalam menyelesaikan masalah ini diperlukan strategi yang tentunya Indonesia memiliki bekal untuk menyelesaikannya.
Rentetan kejadian kerusuhan di Papua pada tahun ini, tentu menjadi bekal bagi para stakeholder yang mengurus Papua untuk bisa merumuskan berbagai strategi serta evaluasi agar dapat terus mengedepakan kedaulatan NKRI di bumi cenderawasih.
Pemerintah juga harus dapat memainkan narasi agar tidak menjadi senjata makan tuan, seperti pada kasus di Nduga Papua, dimana yang melakukan kejahatan dan kekerasan adalah pihak dari kelompok separatis, namun tidak terekspos ke dunia internasional dan narasi tersebut kemudian menjadi berbalik dengan topik “pendudukan militer” di Nduga. Sehingga hal tersebut tentu merugikan Indonesia.
Sementara itu Presiden Jokowi telah mengedepankan pendekatan holistik demi kesejahteraan masyarakat di Papua. Pembangunan infrastruktur yang luar biasa serta penambahan dana otonomi khusus juga menjadi perhatian bagi presiden.
Hal ini tentu menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di Papua. Keterlibatan Luar Negeri tentu akan menjadi boomerang bagi penyelesaian masalah di Papua, karena mereka belum tentu memahami permasalahan Papua secara menyeluruh.
)* Penulis adalah mahasiswi Papua, tinggal di Jakarta