Masjid Harus Terbebas dari Paham Radikalisme
Oleh : Ilham Wandono*
Dari awal kelahirannya, masjid sudah berkiprah sebagai pusat kegiatan dakwah Nabi Muhammad SAW dan basis untuk mengorganisir berbagai urusan yang berkaitan dengan umat muslim. Disamping untuk kegiatan ibadah atau ritual keagamaan, masjid juga difungsikan sebagai sentra kegiatan budaya, sosial, politik, ekonomi, peradilan dan pendidikan.
Masjid juga memainkan peran sebagai basis sosial untuk memupuk persatuan dan solidaritas umat muslim. Selain itu, masjid juga menjadi basis personal bagi individu yang ingin memperbaiki dirinya, akidahnya dan perlilakunya. Sehingga salah satu fungsi dari masjid adalah tempat untuk memperbaiki moral.
Namun saat ini kegiatan dakwah di berbagai masjid sempat kecolongan dengan muatan dakwah bernuansa radikal. Ustaz Syamsudin Uba menjadi sorotan ketika sebuah masjid di Jakarta disinyalir menjadi tempat perekrutan pendukung ISIS pada awal 2016. Kala itu ia mengisi sebuah pengajian yang membahas tentang negara Islam di Suriah.
Syamsudin sempat ditangkap pasukan Densus 88 dan Polda NTT karena diduga menyebarkan propaganda ISIS dalam rangka merekrut simpatisan. Namun kemudian dirinya dibebaskan setelah lima hari mendekam di tahanan karena tidak adanya bukti.
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Yayasan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat mengatakan sebanyak 41 masjid di lingkungan pemerintahan menjadi basis penyebaran ideologi radikal. 17 diantaranya termasuk dalam kategori parah.
Beberapa masjid juga dipakai untuk menyebarkan ideologi radikalisme, ada juga yang dipakai untuk konsolidasi, bahkan ada pengurus masjid yang menjadi agen perjalanan untuk siapapun yang hendak pergi ke suriah.
Dalam mengukur radikalisme juga terdapat indikator yang bisa digunakan dalam mengukur sebuah ceramah. Pertama sikap pendakwah terhadap ideologi negara, kedua sikap mereka terhadap pemimpin nonmuslim dan yang ketiga adalah sikap para pendakwah terhadap agama lain.
Indonesia memang negara yang menjamin kebebasan berpendapat, namun dakwah tetaplah dakwah, kebebasan berpendapat adalah bebas yang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sehingga diperlukan sebuah regulasi dalam menyampaikan dakwah baik secara langsung maupun melalui media elektronik, seperti UU anti terorisme pasal 13A, dimana dalam peraturan tersebut pihak berwenang sudah bisa memproses siapapun yang terindikasi mendukung, bersimpati atau bergabung dalam jaringan antiteror meski tidak memiliki niat atau rencana untuk melakukan serangan.
Pemerintah tentu harus concern dalam membersihkan paham radikalisme di lingkungan masjid, seperti misalnya dengan melakukan pendampingan, monitoring dan pembinaan.
Menghilangkan sesuatu yang memiliki stigma radikal tentu bukanlah pekerjaan yang sederhana. Sebab radikalisme merupakan isu sensitif di satu sisi dan di sisi lainnya adalah permasalahan yang kompleks.
Kementrian Agama juga tak mau tinggal diam, menjalin hubungan yang intesif dengan takmir masjid tentu menjadi salah satu upaya tepat untuk menetralisir radikalisme di masjid – masjid. Namun untuk benar – benar membersihkan masjid dari ideologi radikalisme tentu membutuhkan proses yang panjang.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga turut berperan dalam melenyapkan paham radikalisme, salah satunya adalah mereka yang berencana hendak menyusun kurikulum khotbah yang kelak bisa menjadi tuntunan masjid dalam menyusun konten dakwah yang terbebas dari unsur ujaran kebencian ataupun ajakan perang.
Penyusunan kurikulum khotbah dirasa perlu karena dakwah bernuasnsa radikalisme akan semakin menyemai bibit terorisme baru. Memang tidak semua orang yang radikal itu menjadi teroris, namun seorang teroris sudah pasti radikal. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya paham radikalisme merupakan satu langkah sebelum mendapat gelar teroris.
Radikalisme hanya boleh berada di tiga wilayah saja, yaitu di dalam pikiran, keluarga, dan yang terakhir adalah di wilayah komunitas khusus. Tidak boleh paham radikal sampai masuk ke ruang publik seperti masjid, hal ini karena masjid merupakan fasilitas umum yang bisa digunakan secara bersama. Oleh karena itu, toleransi harus dijaga dengan bersedia untuk menerima kelompok orang lain yang berbeda pendapat.
Orang tua juga memiliki peran utama dalam membendung paham radikal di Indonesia, sudah semestinya orang tua lebih selektif dalam menyekolahkan maupun mencari sekolah yang terbaik untuk anak. Selain itu sesama umat muslim juga semestinya tidak mengkafir – kafirkan seseorang, apalagi dari sesama muslim.
Masjid memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat. Apabila dalam masjid tersebut masih ada bau – bau radikalisme, maka hal itu harus dicegah oleh banyak pihak salah satunya adalah peran tokoh agama seperti kiai.
Kiai merupakan sosok yang bermasyarakat, dan berperan besar dalam memerangi radikalisme dengan cara menjaga jamaah masjidnya agar terhindar dari pemahaman radikalisme. Kiai atau tokoh agama juga berperan untuk meluruskan pandangan masyarakat tentang paham radikalisme.
Selain itu peran media massa juga diperlukan untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang bahaya intoleransi, dan radikalisme. Sikap toleransi juga harus dipupuk dengan pengertian bahwa Minoritas itu melengkapi mayoritas dan sebaliknya. Sehingga jangan sampai ada kelompok tertentu yang ingin mendirikan negara sendiri.
*) Penulis adalah pengamat masalah sosial budaya