Masyarakat Cerdas Anti Provokasi Berkedok Agama
Oleh: Wilda Fauziyah*
Toleransi bangsa Indonesia sedang kembali diuji. Kali ini konflik diciptakan untuk kalangan umat Islam. Upaya perpecahan masyarakat, sebenarnya hanya ditunggangi oleh para peternak politik demi kepentingan politiknya dan kali ini dengan mendengungkan adu domba umat Islam.
Kasus pembakaran bendera berkalimat Tauhid yang merupakan bendera HTI oleh oknum anggota Banser pada peringatan hari Santri Nasional di Garut adalah salah satu kejadian upaya pecah belah umat. Keberadaan bendera selain bendera Merah Putih yang telah melanggar perjanjian pihak pelaksana hari Santri Nasional adalah kesengajaan dari pihak politik untuk memantik api antar umat Islam dalam peringatan tersebut. Buntutnya, timbulah berbagi reaksi kemarahan dari umat Islam dan kini aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah dengan tajuk Aksi Bela Tauhid bahkan ada pihak-pihak yang mengancam akan mengulang ABI 212 lalu.
Tetapi Aksi Bela Tauhid ini sudah jelas ditunggangi politik. Menagapa demikian? Bukti yang paling terlihat jelas adalah orasi anak kecil yang mengatakan “Siap Ganti Presiden” dan mengajak memilih nomor urut dua lewat slogan “Jangan lupa pilih nomor dua, lupain yang nomer satu”. Sudah sangat jelas politisasi yang dilakukan dengan cara memecah belah umat Islam oleh elite politik berkepentingan. Na’udzubillahi mindzalik.
Sayangnya, aksi terbut dinilai kurang booming oleh para oposisi. Sehingga, mereka masih mencoba menarik perhatian untuk aksi unjuk massa dukungan selanjutnya.
Seharusnya persoalan ini dapat diselesaikan tanpa perlu ribut-ribut aksi unjuk massa. Pasalnya tuntutan massa Aksi Bela Kalimat Tauhid untuk menindak pelaku pembakaran bendera tersebut telah dipenuhi oleh kepolisian. Selain itu, pemimpin ormas Islam besar di Indonesia NU dan Muhammadiyah pun telah menghimbau untuk tidak mengembang-kembangkan permasalahan tersebut dan umat Islam harus menahan diri dan mendinginkan suasana.
Seperti seruan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Siad Aqil Sirod, “Mari kita ta’awun ‘alal birri wa taqwa, mari kita bergandengan tangan, bergotong royong, membangun hal-hal yang positif, hentikan ketegangan, hentikan konflik, mari kita sayangi, kita cintai keselamatan NKRI.”
Sebelumnya kita kesampingkan dulu sebenarnya bendera apa yang dibakar oleh oknum banser tersebut. Sebagai umat Islam, seharusnya kita menunjukkan jati diri sebagai umat yang penuh toleransi dan pemaaf. Aksi pembakaran jangan dilihat semata dengan emosi dan pengaruh nafsu. Pelaku pembakaran tersebut yang juga sesama muslim mungkin sedang khilaf atau memang memiliki tujuan lain, dan jika saudara kita yang khilaf lebih baik diingatkan dan berikan pengetahuan seperti apa yang benar seharusnya. Kemudian jika harus mendapat hukuman maka hukumlah sesuai dengan aturan yang seharusnya, dan setelah itu maka maafkanlah. Seperti itulah umat Islam seharusnya bertindak.
Kemudian sebagai umat Islam dan rakyat Indonesia kita harus cerdas dan hati-hati dari aksi provokasi untuk memecah belah umat. Karena kejadian seperti ini sudah pernah dialami oleh umat Islam di Suriah. Umat Islam dibuat bersiteru dengan saudaranya sendiri, sesama umat Islam dibuat saling membunuh, dan kemudian pihak berkuasa menguasai negara. Sebagai umat Islam dan rakyat Indonesia kita harus bersatu dan mengahalau upaya-upaya memanfaatkan umat Islam untuk sebuah kepentingan.
Sebagai umat Islam dan warga negara yang baik kita harus menjaga persatuan dan harmonisasi bangsa. Kita ikuti himbauan para pimpinan kita untuk tetap tenang dan bersatu untuk menjaga keutuhan negara kita tercinta. Kita harus cermat melihat informasi yang diterima, membangun hal positif yang akan menghentikan konflik. Karena bangsa kita sedang menghadapi ujian toleransi lewat provokasi, persatuan umat akan meluluskan dengan selamat.
*) Mahasiswa FISIP UGM