Polemik Politik

Sering Bikin Gaduh, Perpanjangan Izin FPI Sebaiknya Dicabut

Oleh : Enny Rahmawaty )*

Masifnya penolakan atas perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam (FPI), terwujud dalam petisi yang bertajuk ‘Stop Izin FPI’ yang telah ditandatangani lebih dari 310.000 orang pada Jumat 10 Mei 2019.

            Sebelumnya, informasi tersebut juga telah dikonfirmasi kepada Mendagri Tjahjo Kumolo dan membenarkan bahwa belum ada pengajuan perpanjangan izin ormas yang teregistrasi dengan nomor SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tersebut.

            Kini, sesuai ketentuan baru dalam UU 16/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, memuat mekanisme pembubaran ormas yang tidak lagi melalui pengadilan.

            FPI dianggap bisa terganjal sebab dalam regulasi tersebut, Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), penistaan agama, mengganggu ketertiban umum, hingga melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.

            Pengamat Sosial Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno berpendapat, bahwa fenomena ini merupakan konsekuensi atas citra negatif FPI yang terlanjur mengakar di masyarakat.

            Pada tahun 2012 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi juga sempat mempertimbangkan untuk membekukan ormas tersebut, hal ini dikarenakan dirinya belum bisa melupakan aksi anarkis massa FPI saat unjuk rasa menolak evaluasi sembilan perda miras 12 Januari 2012. Dimana pada saat itu sejumlah kaca gedung kemendagri hancur karena aksi anarkis tersebut.

            FPI telah mencatatkan sejarah sebagai ormas yang sering melakukan kerusuhan, pada aksi damai yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), FPI melancarkan aksinya dengan memukul para peserta aksi dengan bambu, tak sedikit peserta aksi yang berdarah, bahkan tak hanya kaum pria yang menjadi korban, para ibu – ibu yang membawa anaknya pun tak luput dari korban pemukulan.

            Selain itu kenangan buruk juga diungkapkan oleh Pendeta Palti Panjaitan, pada waktu itu ia bergerak menuju gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia pada suatu pagi di hari Minggu tahun 2012. Seperti hari Minggu biasanya, sebagai pendeta Palti mesti memimpin para jemaat yang rutin beribadah di Gereja yang terletak di kawasan Tambun Bekasi. Meski disegel, jemaat tetap beribadah di pelataran gereja.

            Namun siapa sangka, niatnya untuk beribadah berujung petaka. Mendadak puluhan orang berjubah putih dengan label Front Pembela Islam (FPI) telah memenuhi pelataran Gereja. Mereka menghadang para jemaat yang akan beribadah.

            “Setiap minggu selalu begitu, kami dilarang beribadah,” ujar Palti.

            Dalam setiap kesempatan itu, Palti juga mengakui, tak jarang para jemaat harus menerima lemparan telur busuk hingga air comberan dalam perjalanan menuju gereja. Saat beribadah pun, kelompok FPI itu melakukan demo dengan pengeras suara hingga mengganggu para jemaat yang tengah berdoa.

            “Yang paling parah waktu malam natal, jemaat dihadang hingga harus dievakuasi ke Polsek Tambun,” ujarnya.

            Ketua Bidang Penegakan Khilafah Awit Masyuri menyatakan, FPI telah sepakat memperjuangkan syariat Islam melalui jalur konstitusional. Namun sistem yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi, sesuatu yang tentunya bertolak belakang dengan cara pandang FPI.

            Dirinya menegaskan, FPI tidak menerima demokrasi karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Demokrasi, menurutnya adalah hukum yang dibuat manusia karena itu tidak seharusnya diimani.

            FPI menginginkan Indonesia menggunakan prinsip musyawarah, bukan sistem demokrasi. Termasuk dalam pemilihan pemimpin nasional.

            Namun nyatanya pernyataan tersebut seakan kontradiktif untuk pemilu 2019, dimana spanduk salah satu capres disandingkan dengan foto pentolan FPI Habib Rizieq. Tentu sesuatu yang aneh jika FPI menolak demokrasi tetapi turut serta dalam pesta demokrasi sebagai simpatisan salah satu paslon.

            FPI tentu harus menyadari bahwa dirinya tinggal di Indonesia yang tumbuh dalam kebhinekaan sejak lama, bahkan Indonesia sudah berdiri lebih lama daripada FPI yang baru diresmikan pada medio 90an.

            Jika khilafah menjadi harga mati bagi FPI, maka Indonesia bukanlah tempat yang cocok untuk mereka, kesan anarkis dan biang rusuh akan sulit dilenyapkan oleh masyarakat, terutama dari kalangan non muslim.

            FPI sudah semestinya menyadari bahwa para ulama terdahulu, mendakwahkan agama dengan cara yang santun, bukan dengan sikap represif yang terkesan arogan seperti sweeping warung makan pada bulan Ramadhan.

            Pemerintah saat ini hanya memiliki 2 pilihan, yaitu : pertama membuat kesepakatan agar FPI menjadi ormas yang toleran terhadap pemeluk agama yang lain, kedua bekukan perizinan FPI yang telah memiliki rekam jejak sebagai ormas biang kerusuhan.

)* Penulis adalah pengamat sosial kemasyarakatan

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih