Masyarakat Harus Mengetahui Rekam Jejak Capres yang Akan Dipilih
Oleh : Taufik Sugianto )*
Genderang tabuh riuh Pemilu 2024 semakin keras terdengar. Walaupun belum ada yang secara resmi mendaftarkan di ke Komisi Pemilihan Umum sebagai Calon Presiden (Capres), namun masyarakat sudah mulai bisa menerka kandidat yang potensial untuk mencalonkan diri. Peran aktif masyarakat sangat diperlukan dalam Pemilu ini sebagai bentuk partisipasi aktif dalam menentukan arah pembangunan bangsa.
Sebagai perhelatan pesta demokrasi tiap lima tahun sekali, dipastikan publik sangat antusias menunggu momentum ini. Optimisme kemajuan bangsa akan disematkan kepada Calon Presiden yang akan dipilih nantinya. Pastinya diperlukan berbagai pertimbangan mendalam agar tidak salah memilih dan kontra produktif terhadap arah pembangunan nasional berkesinambungan.
Rekam jejak dinilai sebagai alat ukur untuk menguji, apakah seseorang dapat memenuhi kriteria kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpin. Capres yang sudah terbukti memiliki gagasan nyata untuk kemajuan Indonesia pastinya sudah melakukan hal serupa di amanat yang diemban sebelumnya. Begitupun sebaliknya, Capres yang pernah mengancam keutuhan bangsa dan melakukan berbagai intrik politik kotor juga dinilai sebagai karakter dasar yang ada pada figure tersebut.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa Pemilu merupakan ajang untuk menentukan sosok yang akan mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Hal itu akan terealisasi dengan adanya soliditas persatuan dan penghargaan tertinggi terhadap perbedaan dalam konteks Indonesia yang bhinneka. Sosok Capres yang sudah terbukti pernah memecah belah umat demi kepentingan politik tidak baik untuk dipilih. Figur tersebut hanya akan memecah belah keutuhan Bangsa Indonesia dan mengakibatkan kemunduran pembangunan nasional.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Amien Suyitno juga mengajak seluruh aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kementerian itu untuk menolak politik identitas, karena dapat mengancam persatuan. Ia mendorong ASN harus menjadi agen yang bisa mengeliminasi setiap penggunaan politik identitas yang dapat memecah belah persatuan. Politik identitas sangat membahayakan kerukanan Indonesia yang harmoni. Apalagi politik identitas dengan nomenklatur agama jauh lebih membahayakan dan rentan disusupi ideolgi jihadis.
Pengalaman buruk politik identitas pada Pilgub DKI 2027 dan Pilpres 2019 harus menjadi perhatian bersama. Hal tersebut tidak boleh terulang kembali karena mengancam keutuhan bangsa dan menghambat upaya Pemerintah dalam menyukseskan pembangunan nasional.
Peneliti (Perkumpulan Untuk Pemilu dan DemokrasiPerludem), Ihsan Maulana menilai, politik identitas menjadi komoditas politik akibat dari adanya polarisasi di masyarakat. Menurut Ihsan, itu banyak dipakai sebagai strategi politik karena murah. Politisi nakal menggunakan politik identitas karena tidak membutuhkan biaya yang besar. Apalagi yang menyangkut dengan sentiment keagamaan, masyarakat akan lebih mudah tersulut untuk membenci dan mengintimidasi kelompok lainnya. Hal ini sudah dipastikan mengakibatkan kemunduran demokrasi.
Peneliti Ahli Utama Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syafuan Rozi menyatakan faktor rekam jejak bakal menjadi pertimbangan utama seorang pemilih pemula menentukan calon presiden (capres) 2024 yang dipilihnya. Pemilih pemula yang berasal dari kalangan Gen Z dan Millenial ini akan menjadi ceruk terbesar dalam Pemilu 2024.
Pemilih pemula cenderung tidak bisa memutuskan sikapnya secara cepat. Mereka akan bakal mencari tahu lebih dahulu sosok kandidat capres melalui rekam jejaknya. Apalagi dengan pelaksanaan Pemilu 2024 yang masih beberapa bulan lagi, maka digunakan para pemilih pemula menelusuri rejam jejak capres.
Ketua DPR RI, Puan Maharani mempersilahkan masyarakat untuk menilai sendiri rekam jejak setiap kandidat Capres yang ikut Pemilu 2024. Hal tersebut menjadi keharusan karena menyangkut amanat rakyat untuk kemajuan Bangsa Indonesia.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Adian Napitupulu menegaskan kandidat Capres harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya tidak pernah punya rekam jejak dalam politik identitas. Hal tersebut menjadi keharusan karena Bangsa Indonesia didasarkan atas persamaan hak dan kewajiban diatas segala perbedaan. Mendukung figure yang memiliki rekam jejak politik identitas berarti kemunduran berdemokrasi dan tidak sejalan dengan cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Diketahui bahwa politik identitas itu artinya politik yang menggunakan identitas untuk perpecahan. Sehingga sudah seharusnya ditolak karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam politik, yaitu membangun bangsa dengan persatuan. Publik harus berpihak kepada gagasan yang realistis, bukan kepada pandangan primordial. Ketelitian terhadap rekam jejak Capres harus dipupuk terus gar publik memilih Capres memilih figure yang memiliki rekam jejak tokoh yang ikhlas berjuang untuk semua kalangan masyarakat.
Sebelumnya, Politik identitas yang bernada negatif itu memuncak pada Pilpres DKI 2017 dan semakin membesar pada Pilpres 2019. Polarisasi membuat politik identitas disusupi ujaran kebencian, disinformasi, hoaks dan lainnya. Bahkan apabila semakin meningkat, dapat membahayakan keutuhan bangsa dan menimbulkan instabilitas keamanan.
Oleh karena itu, segenap masyarakat harus saling mengingatkan untuk meneliti rekam jejak kandidat Capres. Memilih sosok yang memiliki rekam jejak politik identitas tidak ada untungnya dan malah membahayakan negara.
)* Penulis Merupakan Pagiat Forum Studi Mahasiswa Ilmu Politik