Masyarakat Harus Proaktif Tangkal Radikalisme
Oleh : Endah Kurniawati )*
Radikalisme masih menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Masyarakat diharapkan proaktif untuk menangkal radikalisme yang dapat memicu kekerasan dan mengancam keutuhan negara.
Sudah bukan rahasia lagi, jika kecanggihan teknologi menjadi senjata yang cukup mumpuni. Yakni, bagi para pelaku radikalisme. Gencarnya mereka melakukan aneka perekrutan tak lain adalah untuk meneruskan perjuangan mereka. Sayangnya, perjuangan mereka ini dinilai sangat melenceng. Jauh dari kata perdamaian, bahkan tindakan radikal sudah menjadi bahan konsumsi Mereka sehari-hari.
Salah satu target utama pelaku radikalisme ini ialah anak muda juga kaum milenial. Kedua target ini dinilai masih labil untuk mengenal dunia lebih dalam. Rasa keingintahuan mereka yang terkadang berlebihan justru dimanfaatkan. Perilaku yang membutuhkan pengakuan banyak dilakukan oleh anak muda. Sehingga pelaku radikalisme lebih mudah mendekati mereka dengan embel-embel solidaritas, atau keagamaan.
Kendati sudah sering ditekankan terkait bahayanya radikalisme ini, ternyata masih banyak pula yang terjerat rayuan maut sang radikalis. Bukan hanya terorganisir, kelompok menyimpang ini memiliki jaringan yang terkoneksi satu sama lain, di beda tempat sekaligus. Akses internet inilah yang memberikan mereka kemudahan untuk selalu berkomunikasi. Disebutkan, pada beberapa platform jejaring sosial juga terdapat konten-konten ekstrim, termasuk tutorial perakitan bom.
Masih ingat pelaku bom bunuh diri di Medan Sumatera barat? Dilaporkan dirinya mengetahui cara perakitan bom ini hanya dari sebuah media sosial. Apakah pemerintah tinggal diam?
Pemerintah bersama seluruh jajaran, khususnya di kementerian komunikasi dan informasi telah menutup ratusan akun-akun menyimpang dan berpotensi menimbulkan paham radikal. Dan hingga kini masih terus memantau perkembangannya.
Aneka konten yang dinilai menyesatkan juga akan di monitoring. Pasalnya, hal ini justru menimbulkan rentetan masalah yang tak berkesudahan. Para pengguna smartphone berteknologi mumpuni nyatanya tak dibarengi dengan kapasitas “otak canggih”. Warganet ini sukanya menelan mentah-mentah aneka kabar yang mereka terima. Parahnya tanpa mengecek terlebih dahulu benar atau tidak berita tersebut, mereka main click and share saja. Jika demikian pastilah banyak yang tersesat karena disinformasi yang dibagikan.
Mirisnya lagi mereka ini sudah seolah paling mengerti alias up to date dengan berita-berita yang berseliweran. Mereka mendadak jadi ahli dan berlomba-lomba membagikan pesan dengan dalih kemanusiaan. Padahal justru inilah yang wajib diwaspadai. Kita perlu menyaring segala bentuk berita yang kita terima. Dicek apakah hal tersebut sudah benar atau hoax semata. Karena memutus rantai penyebaran berita bohong itu adalah kewajiban kita.
Belum lagi, tren tontonan atau sejenisnya yang cepat sekali menyebar. Mereka dengan mudah mendaftarkan data diri jejaring sosial hanya untuk permainan dan seru-seruan. Padahal banyak imbauan terkait hal ini. Jika data-data kita diretas dan disalahgunakan, bagaimana? Namun, umumnya anak muda tak bakalan ambil pusing. Yang terpenting tetep online dan tampil eksis.
Maka dari itu, Radikalisme memang menyasar anak-anak muda yang bakal lebih gampang dieksploitasi, dimanfaatkan untuk menghancurkan pemerintahan. Jika anak muda telah tamat akibat paham-paham semacam ini tentunya negara juga akan carut marut.
Kepedulian pemerintah akan penyebaran radikalisme ini tak kurang-kurang. Pembatasan tontonan-tontonan menyimpang diblokir dan tak boleh ditayangkan. Anjuran secara online hingga offline-pun tak ketinggalan. Sayangnya hanya masuk kuping kiri keluar kuping Kanan. Padahal kini saatnya berbenah, menjadi agen kebaikan dengan mengunggah konten-konten bermanfaat dan mengedukasi. Mengingat, pengguna Medsos ini datang dari berbagai kalangan. Mulai anak-anak hingga dewasa, bahkan lanjut usia.
Berselancar di dunia Maya seolah telah menjadi rutinitas yang tak boleh ketinggalan. Mau makan foto, upload medsos. Mau piknik upload, hingga tanpa disadari radikalisme ini menyusupi begitu mudahnya. Dan tanpa disadari telah membabat habis perilaku bertoleransi bagi sesamanya. Hal ini tercermin saat pertengkaran melalui medsos sering tersajikan. Apa masalahnya? Tak menghargai perbedaan. Dan ini merupakan salah bibit-bibit radikal yang mulai berkembang.
Sebetulnya mudah saja, membedakan konten-konten menyimpang mulai dari hoax hingga radikalisme. Apalagi kini banyak ditemukan aplikasi-aplikasi yang bisa untuk mengecek kebenaran berita. Bahkan ada juga nomor hotline untuk melaporkannya. Hanya saja mau atau tidak? Karena saking leluasanya akses informasi, penyalahguaan ini sering kali dijadikan hal yang ihwal terjadi. Sehingga menggerus mentalitas penggunanya. Jika demikian terus waspada adalah salah satu solusi menghindari radikalisme yang kian menantang.
)*penulis adalah warganet tinggal di Bekasi