Masyarakat Mendukung Papua Jadi Zona Damai
Oleh : Charles Degei )*
Harmoni di Bumi Cendrawasih kadang terkoyak oleh ulah kaum separatis. Masyarakat tentu menolak mereka, karena menginginkan Papua jadi zona damai. Ketika Papua jadi wilayah yang damai, maka semua warga jadi rukun, meski berbeda suku, agama, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
Dulu, stigma Papua adalah wilayah yang berbahaya karena masih ada perang antar suku, yang menggunakan senjata seperti panah. Selain itu, ada pula serangan dengan senjata api dari KKB dan kelompok separatis lain. Hal ini yang membuat masyarakat jadi takut untuk masuk ke BumiCendrawasih. Padahal saat ini sudah tidak ada lagi perang antar suku dan KKB jarang berulah.
Hamonisasi di Papua agar menjadi zona yang damai sangat penting untuk dilakukan. Penyebabnya karena di sana tidak hanya ada warga asli Bumi Cendrawasih, namun juga ada pendatang dari Jawa dan pulau lain. Ketika mereka yang berbeda suku dan agama bergaul, maka tidak ada lagi sekat, karena masyarakat menyadari bahwa perbedaan itu indah.
Piet Nawipa, Kepala Suku Mee di Kabupaten Mimika menyatakan bahwa untuk membangun Papua sebagai zona damai, maka dibutuhkan kerja sama yang harmonis antara pemerintah daerah, tentara, polisi, dengan masyarakat dari berbagai suku. Jadi ada kerjasama antara aparat dengan masyarakat dan semua pihak, agar menciptakan kedamaian di Bumi Cendrawasih.
Lanjut Piet Nawipa, masing-masing suku di Papua juga dituntut untuk menjaga dan melindungi masyarakat akar rumputnya. Semoga di bulan desember yang merupakan bulan sukacita karena merayakan natal, tidak ada lagi kekerasan di Bumi Cendrawasih. Masyarakat bisa menikmati suasana libur akhir tahun dan menyambut 25 desember dengan damai dan bahagia.
Di Papua, sebelum ada pendatang, sebenarnya sudah diplokamirkan perdamaian antar suku. Karena faktanya di sana para penduduk asli tak hanya terdiri dari 1 suku, namun ada banyak suku bangsa. Misalnya Suku Dani, Asmat, Arfak, Atori, Atam, Awyu, dan lain-lain. Perbedaan suku tak membuat kehidupan mereka bentrok, karena biasa hidup berdampingan dengan damai.
Namun sayang ada isu SARA yang diembuskan oleh oknum, karena mereka tidak suka melihat kedamaian di sana. Pendatang yang notabene bukan warga asli, dibenturkan dengan putra Papua, dan diprovokasi agar bersaing di dunia kerja. Padahal jika seorang HRD merekrut pegawai, maka yang dilihat adalah kemampuannya, bukan suku atau agamanya.
Selain itu, kaum separatis pernah mengeluarkan hoax berisi isu SARA di media sosial. Mereka menuduh pemerintah Indonesia menerjunkan pasukan untuk membasmi ras melanesia. Padahal aparat masuk ke Papua untuk menghalau kaum separatis, karena mereka adalah penghianat bangsa, bukan karena faktor suku dan rasnya.
Aparat yang terdiri dari pasukan TNI dan Polri bekerja keras menjaga perdamaian di Papua, agar tidak ada lagi provokasi yang disebarkan oleh oknum separatis. Mereka menggunakan psy war memainkan psikologis warga asli Papua, agar tak mau bekerja sama dengan aparat. Padahal masyarakat selama ini sudah percaya dengan tentara dan polisi, karena mereka adalah sahabat rakyat.
Masyarakat merasa dilindungi oleh kehadiran aparat di Papua, karena demi menjaga kedamaian, mereka berani mengorbankan nyawanya sendiri. Para pasukan tidak melihat siapa yang dilindungi, entah dari suku apa atau beragama apa. Namun mereka menjalankan tugas demi bangsa dan negara, dan berusaha keras mewujudkan perdamaian di Papua.
Mari kita jaga perdamaian di Papua, terutama jelang hari raya natal. Jangan ada lagi peperangan antar suku atau gesekan antara warga asli dengan pendatang. Karena perbedaan itu indah, dan perdamaian itu melegakan. Harmoni antar penduduk di Papua wajib dijaga agar selalu kondusif.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali