Masyarakat Mendukung Pelarangan Eks Angota Ormas Terlarang Beraktivitas Politik
Eks anggota ormas terlarang tidak boleh berpolitik dan mencalonkan diri jadi pejabat di tingkat apapun. Hal ini tercantum dalam draft UU pemilu. Pelarangan ini bukan mencabut hak mereka sebagai warga negara. Namun, mereka terbukti tidak setia pada NKRI, sehingga dilarang keras beraktivitas politik.
Publik dikejutkan dengan draft UU pemilu yang masih dalam tahap pembahasan oleh DPR. Dalam rancangan ini, ada rencana bahwa mantan anggota organisasi terlarang tidak boleh mencalonkan diri dalam pilkada. Mereka juga tidak boleh maju sebagai calon presiden atau calon anggota legislatif.
Zulfikar Sadikin, anggota Komisi II DPR, menyatakan bahwa eks anggota ormas dilarang mencalonkan diri karena tidak sesuai dengan konsensus bangsa. Yakni pancasila, UUD 1945, NKRI, dan bhineka tunggal ika. Sedangkan dalam persyaratan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif, kepala daerah atau pemilihan presiden, syaratnya adalah harus setia pada 4 konsensus bangsa tersebut.
Zulfikar menambahkan, eks anggota organisasi terlarang bertolak belakang dengan pancasila dan konsensus lain. Karena mereka ingin mengganti dasar negara dengan prinsip khilafiah.
Sehingga baik mantan anggota maupun pengurus organisasi terlarang tidak diperbolehkan jadi pejabat publik.
Masyarakat menyetujui pelarangan ini. Pertama, mereka tidak ingin ada calon presiden yang merupakan mantan pengurus organisasi terlarang. Karena mereka selalu berbuat onar, dengan melakukan hate speech dan mengumbar isu SARA. Sehingga meresahkan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Kedua, ex pengurus organisasi terlarang juga terbukti tidak setia pada negara. Buktinya ada yang tertangkap karena kasus terorisme dan terbukti berafiliasi dengan ISIS.
Bagaimana bisa Indonesia punya pejabat yang teroris? Bisa-bisa negara cepat hancur jika mereka diberi kesempatan untuk maju dalam pilkada, pileg, atau pilpres.
Sedangkan yang ketiga, ex pengurus organisasi terlarang selalu ingin membuat negara khilafiah dan menolak pancasila. Padahal prinsip khilafiah tidak bisa digunakan di Indonesia, karena masyarakatnya multi kultural dan mengakui 6 agama.
Khilafiah tidak bisa menerima pluralisme, sehingga amat tidak cocok jika dijalankan di Indonesia, yang masyarakatnya bhinneka tunggal ika.
Bayangkan jika saja eks anggota ormas terlarang tidak dicegah untuk jadi capres atau cawali, maka ia bisa melenggang asalkan punya modal dan massa pendukung. Kalau ia terpilih, maka bisa-bisa Indonesia diubah jadi negara khilafiyah.
Padahal Indonesia adalah negara pancasila, jika diubah maka akan menghianati perjuangan proklamator dan pahlawan bangsa.
Jika ada yang protes, mengapa pelarangan ini jadi seperti masa orde baru? Maka merekalah yang salah paham, karena perbandingannya tidak apple to apple. Pertama, negara tidak pernah mengambil hak warga negara untuk mencalonkan diri. Namun ketika ada WNI yang terbukti menjadi eks anggota ormas terlarang, otomatis ia gugur di fase administrasi. Karena tidak setia pada pancasila.
Yang kedua, pelarangan ini dibuat untuk melindungi masyarakat Indonesia dari pengaruh ormas terlarang.
Jika eks anggota mereka jadi pejabat, katakanlah jadi walikota, maka warganya pelan-pelan dipengaruhi untuk menjadi anti pancasila. Hal ini amat mengerikan karena bisa-bisa mereka dicuci otak dan diajak untuk jadi separatis, karena menolak demokrasi.
Jika ada yang memprotes, maka suruhlah ia untuk memahami larangan ini dan memikirkan efek jangka panjangnya. Jangan jadi kaum sumbu pendek dan merasa haknya dicederai. Karena negara memproteksi pancasila dan UUD 1945 dengan meresmikan UU pemilu. Karena dasar negara tidak bisa diganti dengan apapun.
Pelarangan eks anggota organisasi terlarang untuk jadi caleg, cawali, atau capres sangat masuk akal. Karena mereka terbukti tidak setia pada negara, dan selalu marah-marah pada setiap keputusan pemerintah. Bagaimana bisa mereka jadi pejabat jika selalu kontra dengan presiden? Masyarakat mendukung UU pemilu dan berharap segera diresmikan.
(Penulis adalah warganet tinggal di Bogor)