Masyarakat Menolak Reuni 212
Oleh : Aditya Akbar)*
Reuni 212 yang dimotori oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak. Acara tersebut dianggap telah keluar dari tujuan awalnya dan rawan diisusupi penumpang gelap yang dapat menciptakan kerusuhan,
Bagi sebagian orang, reuni ini adalah momen yang dinanti. Menurut KBBI, kata reuni berarti pertemuan kembali (bisa bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, juga lainnya) setelah berpisah cukup lama. Momentum reuni dinilai juga akan mempererat tali silaturahmi yang putus maupun kendor. Biasanya akan ada agenda-agenda guna melengkapi acara. Reuni ini bersifat santai, namun ada juga yang formil tergantung konsep acara. Nah, apakah PA 212 yang akan menggelar reuni ini juga serupa dengan penjelasan diatas?
Isu akan dihelatnya pertemuan kembali kawan seperjuangan 212 di Monas ini disambut antusiasme warganya. Tetapi hanya yang pro dengan mereka, kenapa? Sebab, pihak-pihak yang menyatakan kontra menganggap tujuan dari reuni ini telah berubah, tidak berdasar atas definisi awal terbentuknya organisasi masyarakat ini. Kendati demikian, yang menyatakan kontra-pun belum tentu salah. Hal ini dikarenakan terdapat sejumlah bukti-bukti terkait melencengnya esensi dari acara ini. Mulai dari menggaet tokoh politik hingga merongrong pemerintahan melalui kritik, yang tentunya dinilai terlalu ekstrim.
Sebelum agenda reuni 212 yang akan digelar pada 2 Desember 2019, dulu pada 2018 saja acara ini juga membuat heboh masyarakat Indonesia. Bahkan, menjadi trending topik dunia. Bagaimana tidak, aksi keagamaan yang terdiri dari hampir 8 juta orang ini memutihkan ibu kota Jakarta. Namun, ada yang menarik, yakni adanya aksi tandingan bertajuk ‘Aksi Kontemplasi 212 dan pencerahan Anak Bangsa’. Aksi ini digagas oleh Ketua Umum Forum Silaturahmi Aktivis 212 Kapitra Ampera.
Aksi tersebut memiliki tugas guna menyadarkan peserta 212 agar tidak menjadikan momentum itu sebagai gerakan politik ataupun kampanye terselubung. Salah satu contohnya ialah mengusung paslon Presiden dan Wakil Presiden. Kapitra ingin mengembalikan aksi 212 kepada khitahnya. Sebab, pihaknya keberatan jika aksi Islami dinodai dengan kepentingan politik.
Setahun berlalu agaknya tujuan dari reuni 212 ini belum menunjukkan perubahan. Naga-naganya masih ada agenda politis yang ingin dimasukkan ke dalam momentum acara. Padahal dulu telah diberi kartu kuning oleh sejumlah pihak. Bukan menentang, hanya meluruskan agar aksi-aksi lanjutan tetap berada di jalannya. Belum lagi, acara yang akan diisi oleh HRS yang notabene terbelit beragam kasus. Yang paling fenomenal ketika dirinya mempunyai masalah denda overstay di negeri kilang minyak. Siapa yang tak kenal HRS, imam besar FPI yang cukup mumpuni dalam mengkritisi pemerintahan. Sayangnya, memang lidah tak bertulang, kritik hanya tinggal kritik, sebab dalam kenyataannya sang Habib ini hanya dianggap ampuh mengoceh tanpa ada tindakan nyata.
Bahkan banyak pula yang menganggapnya hanya sebuah tong yang berbunyi nyaring. Gembar-gembor memojokkan pemerintahan, giliran kena masalah minta untuk dipulangkan. Lalu mau ditaruh dimana mukanya? Sudah minta bantuan masih saja nyelipin drama playing victim, Habib oh Habib. Jika logikanya acara akan dipimpin seseorang dengan perilaku kurang pas ini, mau dibawa kemana arah tujuan reuni 212?
Sebenarnya aksi 212 Desember mendatang tidak pernah melarang atau mencekal. Hanya saja pemerintah mempersilakan untuk jujur. Jangan sampai aksi semacam ini menimbulkan kegaduhan politik, pasca meredanya situasi ‘panas’ Pilpres beberapa waktu lalu. Tahu sendiri bagaimana carut marutnya keadaan kala itu, acara yang awalnya berniat positif jadi bermetamorfosis ke arah makar, dimana pemimpinnya menyuarakan hal-hal yang cenderung ingin mengintervensi pemerintahan.
Jadi jika kini masyarakat lebih cerdas memilih tentunya akibat dari pengalaman sebelumnya, bukan? Mana ada orang-orang yang ingin agamanya dijadikan ajang terselubung guna menyuburkan pertumbuhan politik. Ada baiknya tetap jujur saja, acara reuni jangan dikaitkan dengan politik. Maka reuni yang bertajuk ‘Munajat untuk Keselamatan Negeri. Maulid Agung dan Reuni Alumni 212’ ini bisa diadakan seperti pada umumnya. Sehingga tak perlu lagi mencatut sejumlah tokoh politik guna menaikkan panggung acara.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik