Media Mainstream Tidak Sepatutnya Melecehkan Kepala Negara
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Majalah Tempo sebagai media mainstream sempat memanas berkat cover halaman depannya yang menggambarkan sosok Jokowi dengan bayangan tokoh kartun Pinokio. Cover disebut dimuat pada majalah Tempo yang menyajikan berita utama berupa artikel terkait dengan revisi UU KPK.
Namun redaksi tempo juga membantah akan adanya tuduhan yang menggambarkan Jokowi adalah Pinokio dalam sampul majalah.
Setri Yastra selaku eksekutif Majalah Tempo yang pada edisi tersebut menyajikan berita utama berupa artikel polemik revisi UU KPK.
Ia juga mengatakan bahwa Tempo, sama sekali tidak pernah menghina kepala negara sebagaimana yang dituduhkan.
Namun dari kalimat yang tertulis menunjukkan bahwa seakan Jokowi dianggap telah ingkar janji pada janji – janjinya, dalam memperkuat KPK.
Denny SiregarDalam akun twitter @DennySiregar7, menuliskan Cover majalah @Tempodotco ini sangat menghina @Jokowi sebagai presiden RI. Bagaimanapun juga Tempo boleh tidak menyukai adanya revisi UU @KPK_RI, meskipun sebenarnya media tidak boleh berpihak. Namun ,membuat sebuah gambar yang menghina simbol negara ini, Denny Pikir Hal itu sudah keterlaluan.
Namun sepertinya nasi sudah menjadi bubur, setelah Jokowi disamakan dengan Pinokio, Jokowi sekarang digambarkan sedang terbakar bersama orang utan dan mereka saling bersalaman satu sama lain. Cover tersebut tentu akan mendapatkan respons yang beragam, bukan tidak mungkin multitafsir akan terus terjadi.
Tentunya tidak menutup kemungkinan, Jokowi akan terus dicari celahnya, setelah Jokowi disamakan dengan Pinokio, Tempo kembali menuai komentar negatif. Dalam sampul majalah Tempo edisi 23 – 29 September 2019, Jokowi dipasangkan dengan orang utan lalu mereka saling bersalaman satu sama lain. Konten tersebut tentu saja akan mendapatkan respons yang beragam.
Mungkinkan majalah Tempo akan berdalih, namun pastinya mereka talah menghilangkan netralitasnya. Salah satu informasi yang mereka miliki, yakni orang internal KPK sudah dihabisi oleh rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia setuju atas revisi UU KPK. Maka majalah tersebut juga terancam tutup lapak. Mereka akhirnya mencoba untuk tetap viral dan tetap harus menggigit. Dengan Semboyan “Nggak enak dbaca, dan nggak perlu”, mereka siap untuk tenggelam.
Mereka bisa saja menghindar kalau Jokowi dan monyet sama – sama tersiksa. Mereka bisa saja menggambarkan cover konyol tersebut dengan alasan bahwa mereka berdua adalah korban.
Namun tentu saja hal tersebut bisa dibantah dengan mudah. Jika memang alasannya sama – sama tersiksa, kenapa harus ada potret bergandengan tangan?
Foto Jokowi dengan bayangan hidung panjang, apakah hal tersebut bermakna bahwa Jokowi selevel dengan pinokio? Kalau sebuah media mainstream sudah kehilangan arah dan kehilangan motivasi, bisa saja saat ini mereka berada di dalam ruang tunggu menuju kehancuran.
Mereka juga bisa saja bersiasat jika Jokowi gagal memelihara monyet – monyet yang ada. Lantas, mengapa monyet? Mengapa tidak pohon. Apakah hal tersebut semata karena rating.
Jika memang hanya rating yang dikejar, tentu saja upaya yang dilakukan oleh majalah tersebut sudah semakin sadis dan menggila. Bagaimana tidak, Jokowi sudah digambarkan terlalu rendah oleh redaksi majalah tersebut.
Menyandingkan gambar jokowi dengan monyet , mungkin saja maksudnya baik, yakni menyetarakan Jokowi dengan orangutan yang sama – sama dianggap sebagai korban. Akan tetapi potensi misleading itu sangatlah besar.
Lalu, terkait dengan konten berjudul “Berjibaku Menggantang Asap”. Dalam peribahasa , arti dari menggantang asap adalah upaya yang sia – sia dan tidak ada gunanya.
Lantas apa maksud dari majalah tersebut, apakah ingin menunjukkan bahwa Jokowi sedang melakukan pekerjaan yang sia – sia alias menggantang asap? Tentu hal ini adalah framing yang tidak sedap.
Jokowi seakan menjadi tokoh auto dilematis dalam bencana asap, jika dirinya tidak meninjau lokasi maka sudah pasti akan banyak yang mengecam dengan berbagai tuduhan, jika Jokowi mendatangi langsung lokasi kebakaran hutan, maka sudah pasti opini tentang pencitraan Jokowi menjadi topik kacang goreng yang laris manis.
Indonesia sedang dilanda berbagai masalah, tentu saja ada yang ambil bagian untuk membantu menyelesaikan, ada pula yang mencaci kinerja pemimpin negeri ini. Bagaimanapun juga pemupukan rasa benci terhadap pemimpin tidak akan menghadirkan solusi, kita mesti percaya bahwa dalam kesulitan yang ada Jokowi tidak akan diam menanggapi permasalahan yang ada.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik