Oleh : Dwi Cahya Alfarizi )*
Dunia digital berkembang sangat pesat, informasi dapat sampai ke seluruh penjuru indonesia hanya dalam hitungan detik. Bahkan tanpa dicaripun, informasilah yang justru mencari audiensnya. Tanpa perlu membuka lembaran koran, siapapun akan tahun informasi apa yang sedang hangat diberitakan melalui media sosial.
Keberadaan media sosial juga memungkinkan siapa saja untuk melontarkan pendapatnya, bahkan saat pemilu, masyarakat pengguna ponsel pintar dapat dengan mudah memosting konten baik berupa tulisan, grafis ataupun video. Kemudahan inilah yang kerap dimanfaatkan untuk menggiring opini publik terutama jelang pemilu 2024.
Para simpatisan, kader parpol hingga peserta pemilu berlomba-lomba untuk mencari dukungan melalui media sosial, mereka berharap hal ini dapat meraih simpati pemilih muda yang notabene aktif dalam bermedia sosial.
Gosip politik ataupun senggol panas antar partai adalah hal yang mampu membuat ramai kolom komentar, tak jarang perbedaan pendapat atau perbedaan pilihan justru akan berujung pada tindakan saling menghujat.
Hal ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi jebakan atau perangkap digital, hoax politik yang tersebar menjadi senjata bagi para praktisi politik praktis untuk menjatuhan lawan politik.
Pegiat media sosial atau yang akrab disebut warganet tentu akan merasa bahwa ruang mayanya terkesan berisik karena banyaknya suara yang menyuarakan pandangan politis melalui akun medsosnya.
Apalagi seseorang bisa dengan mudah membuat akun palsu yang bertujuan untuk memprovokasi atau menebarkan ancaman.
Riset yang dilakukan oleh LSI Denny JA, pada Januari 2023 melaporkan pengguna media sosial di Indonesia ada top 3 platforms, yakni facebook (52,5%), Instagram (31,1%) dan TikTok (29,4%), sedangkan pengguna Twitter hanya (8,3%).
Perlu juga disadari bahwa media sosial merupakan platforms yang meniadakan lokalitas, sehingga semua yang direkam dan diunggah akan secara mendadak menjadi tontonan global, meski acaranya berskala lokal.
Gawatnya, ruang-ruang digital yang bersifat “tontonan” justru didominasi oleh panggung digital dengan tema-tema intoleransi dan SARA yang fokus pada identitas dan anti perbedaan pendapat, meski perbedaan adalah keniscayaan yang semestinya menjadi rahmat untuk saling mengenal dan saling menghormati bukan saling menyalahkan apalagi saling hujat.
Oleh karena itu media sosial haruslah digunakan sebagai mana mestinya agar penyelenggaraan pemilu 2024 menjadi kondusif dan dan berlangsung damai, tentu saja hal ini dibutuhkan kedewasaan serta kebijaksanaan dari para pengguna media sosial.
Pada kesempatan berbeda, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi selaku Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, SDM dan Parmas KPU, memaparkan bahwa media sosial menjadi ruang beredarnya hoax dan ujaran kebencian.
Media sosial seperti facebook telah mendominasi narasi hoax atau berita bohong. Apalagi media sosial tidak memiliki standar seperti media mainstream yang tentu saja memiliki mekanisme kontrol sebelum konten ditayangkan.
Dirinya tentu saja berharap agar terwujud kolaborasi baik dari media maupun pemangku kepentigan untuk mewujudkan pemilu yang sehat.
Tentu saja partai ataupun peserta pemilu diperbolehkan untuk menggunakan media sosial sebagai ajang kampanye dalam mensosialisasikan program-programnya.
Sementara itu, Idham Chalik selaku Ketua Divisi Bidang Teknis KPU mengatakan bahwa aturan kampanye media sosial pemilu 2024 akan merujuk pada pasal 47 ayat 2(a) dan (b) PKPU Nomor 11 Tahun 2020, di mana Partai Politik dapat membuat akun resmi di media sosial untuk keperluan kampanye dengan sejumlah ketentuan :
1. Paling banyak 30 akun resmi untuk seluruh aplikasi, untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
2. Paling banyak 20 akun resmi untuk seluruh aplikasi, untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Idham mengatakan untuk aturan kampanye media sosial Pemilu 2024 akan mengusulkan adanya tambahan akun media sosial. Dia menyebut paling tidak akan sama seperti Pilkada serentak 2020.
Perlu diketahui juga bahwa berdasarkan Lampiran I PKPU Nomor 3 Tahun 2022, masa kampanye Pemilu 2024 akan dilakukan selama 75 hari, dimulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat peraturan KPU (PKPKU) terkait kampanye di media sosial pada Pemilun 2024 mendatang. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada saling serang pribadi maupun keyakinan agama.
Rahmat Bagja selaku ketua Bawaslu mengatakan, semestinya ada batasan, pihaknya mendorong PKPU untuk membatasi ruang gerak media sosial untuk dijadikan ajang untuk menyerang pribadi, menyerang keyakinan beragama dan lain-lain.
Dirinya menerangkan bahwa kampanye di media sosial sejatinya tidak dilarang. Akan tetapi, kampanye di media sosial haruslah dibatasi agar tidak melampaui batas.
Bagja juga tidak melarang siapapun berkampanye di media sosial, tetapi tentu saja harus ada batasannya dan melihat baik-buruknya konten yang ditampilkan.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pesta demokrasi yang melibatkan banyak pihak, masifnya media sosial tentu saja harus dimanfaatkan dengan bijak, karena jika penggunaan media sosial untuk kampanye yang tidak terkontrol tentu saja akan membuat suasana pemilu menjadi semakin rumit, sehingga diperlukan semua pihak perlu untuk menyukseskan kegiatan tersebut.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute