Melawan Radikalisme dengan Kearifan Lokal
Oleh : Ismail )*
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat, yang memiliki nilai luhur dan telah diwariskan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur kearifan lokal tersebut diyakini mampu melawan radikalisme sebagai salah satu ancaman bangsa.
Pernahkah Anda melihat suasana negara yang pemimpinnya radikal? Ketika kelompok radikal melakukan penggulingan kekuasaan maka yang terjadi adalah kehancuran karena ada sistem pemerintahan yang berganti dengan sangat cepat dan selalu dipaksakan. Kita berusaha mencegah agar Indonesia tidak berubah seperti Afghanistan atau negara lain yan g jadi radikal.
Kepala Makara Art Center UI, Dr. Ngatawi Al-Zastrouw menyatakan bahwa Indonesia memiliki kearifan lokal yang dapat menangkal radikalisme dan terorisme. Kearifan lokal bagaikan emas dan berlian yang bisa diolah. Masyarakat bisa memanfaatkannya untuk menangkal radikalisme.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal. Kearifan lokal di tiap daerah berbeda-beda. Misalnya ada kawasan yang memiliki hutan larangan dan ada yang menerapkan hukum adat.
Dengan kearifan lokal maka masyarakat bisa melawan radikalisme. Penyebabnya karena kelompok radikal hadir membawa kebudayaan dan kebiasaan baru. Sayangnya kebiasaan ini bertentangan dengan kearifan lokal. Misalnya larangan untuk memusuhi orang yang berbeda keyakinan. Hal ini amat disayangkan karena sejak zaman kerajaan, masyarakat nusantara merupakan kelompok yang heterogen.
Kelompok radikal juga berceramah dan menentang kesenian wayang karena menurut mereka merupakan ajaran dari keyakinan lain. Padahal cerita wayang sudah digemari oleh masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum era kemerdekaan. Bayangkan jika kelompok radikal jadi penguasa, mau dikemanakan wayang, dalang, dan sindennya? Kehadiran mereka bisa memberangus kebudayaan Indonesia.
Dengan menggencarkan kearifan lokal maka radikalisme bisa dihancurkan. Pertama, masyarakat bisa diingatkan lagi untuk menikmati dan memviralkan budaya lokal, sehingga jika ada budaya impor yang dibawa oleh kelompok radikal akan ditentang. Kebudayaan lokal bisa diadakan lagi misalnya dengan mewajibkan murid-murid dan gurunya memakai seragam batik pada hari tertentu. Mereka akan mencintai batik dan budaya Indonesia.
Jika makin banyak pecinta batik maka mereka akan memakainya di berbagai kesempatan, mulai dari pesta pernikahan sampai ke rapat RW. Ketika ada anggota kelompok radikal yang merayu agar mau masuk, maka masyarakat akan menolaknya. Penyebabnya karena jika jadi anggota kelompok radikal maka pakaiannya wajib polos dan kalau bisa berwarna hitam, dan tidak bisa memakai batik.
Kedua, masyarakat bisa mencintai kebudayaan dan kearifan lokal dengan menonton wayang orang dan wayang kulit. Kebudayaan luhur ini merupakan warisan dari nenek moyang dan memiliki banyak pelajaran hidup. Ketika mencintai wayang maka akan menolak ajakan anggota kelompok radikal, karena mereka jelas tak menyukai wayang yang dianggap sebagai representasi makhluk hidup.
Begitu pula dengan kebudayaan lain seperti tarian tradisional, gending, gamelan, dan lain-lain. Walau di era teknologi informasi, tetapi kesenian tradisonal wajib disebarkan karena berisi banyak ajaran luhur, sekaligus mempertahankan budaya asli Indonesia. Jika semua rakyat mencintai kebudayaan dan kearifan lokal maka mereka akan menolak radikalisme yang membawa kebudayaan asing, yang tidak cocok dengan masyarakat Indonesia.
Radikalisme wajib dilawan karena jika dibiarkan saja, mereka akan mengacak-acak tatanan bangsa. Untuk mencegah meluasnya radikalisme maka masyarakat perlu menggencarkan kembali kecintaan akan kebudayaan dan kearifan lokal. Misalnya wayang, batik, dan lain sebagainya. Dengan adanya kecintaan terhadap kearifan lokal maka diharapkan penyebaran radikalisme dapat ditekan.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini