Memahami Makna Kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif
Oleh : Ananda Rasti )*
Salah satu gugatan yang diajukan oleh pasangan Capres dan Cawapres, Prabowo Subianto – Sandiaga S. Uno, kepada Mahkamah Konstitusi (MK) adalah adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Gugatan serupa pernah diajukan oleh pasangan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa dalam Pilpres 2014, dan dinyatakan tak terbukti oleh MK. Pelanggaran TSM adalah hal sangat serius dan memerlukan pembuktian yang tidak sederhana. Definisi TSM itu sendiri sudah mengisyaratkan beban berat untuk pembuktiannya.
Pelanggaran terstruktur mengacu pada kecurangan yang dilakukan penyelenggara Pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan untuk memenangkan salah satu calon. Sistematis berarti pelanggaran tersebut sudah dilakukan dengan perencanaan dan pengkoordinasian secara matang. Sedangkan masif berarti pelanggaran dilakukan secara besar-besaran di seluruh tempat pemungutan suara. Masif juga merupakan keberlanjutan dari terstruktur dan sistematis.
Syarat yang harus dipenuhi untuk membuktikan bahwa Pemilu 2019 curang secara TSM sangat berat. Pertama, harus ada bukti kuat bahwa kecurangan terjadi di 50 persen propinsi, berarti 17 propinsi, di Indonesia. Kedua, harus ada bukti yang menunjukkan bahwa kecurangan itu diorganisasi oleh sebuah entitas; dan ketiga, mesti ada bukti mengenai dokumen perencanaan kecurangan itu. Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum, ketiga elemen tersebut harus terbukti secara kumulatif untuk dapat mendiskualifikasikan salah satu Capres-Cawapres.
Mencermati definisi tersebut, kita sudah dapat membayangkan bahwa hampir mustahil pasangan Prabowo – Sandi dapat membuktikan pelanggaran TSM yang didalilkannya. Apalagi bukti – bukti yang mereka bawa sebagian besar hanya berupa link – link atau tautan berita dari media online. Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi menganggap, tautan berita daring kurang kuat untuk dijadikan bukti dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden di MK. Menurutnya, tautan berita boleh saja dijadikan sebagai bukti di persidangan. Namun hal itu dirasa masih kurang untuk membuktikan adanya kecurangan. Tim hukum Prabowo – Sandiaga harus bisa membuktikan adanya kecurangan TSM yang terjadi selama pelaksanaan Pilpres.
Ketua tim hukum Joko Widodo – Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, juga berpendapat bahwa tudingan TSM yang dilayangkan tim Prabowo Subianto – Sandiaga hanya asumsi. Mereka mengatakan tuduhan itu harus dibuktikan. Tim Prabowo hanya menyampaikan asumsi bukan bukti.
Semestinya, apabila berdasarkan perhitungan yang wajar, kemustahilan itu sudah dapat diperkirakan dari awal. Daripada menghambur-hamburkan waktu, tenaga, biaya dan emosi yang mengakibatkan keterbelahan masyarakat, lebih baik menerima kekalahan secara ikhlas dan elegan. Kita dapat mencontoh Hillary Clinton yang meskipun dengan sangat kecewa, mengaku kalah dan mengucapkan selamat kepada Donald Trump begitu hasil quick count menempatkan Trump sebagai pemenang pemilihan presiden Amerika Serikat beberapa waktu berselang.
)* Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik