Memaknai Politikus Sontoloyo Jokowi
Jakarta, LSISI.ID – Istilah politikus sontoloyo tercetus dari mulut Presiden Joko Widodo di tengah pembagian sertifikat tanah warga Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Jokowi mengingatkan agar masyarakat berhati-hati di tahun politik lantaran saat ini makin banyak politikus sontoloyo yang memengaruhi masyarakat.
Ucapan itu pun menuai beragam reaksi dari sejumlah pihak. Salah satunya Partai Gerindra yang menilai Jokowi tengah stres lantaran target programnya tak berjalan baik di sisa satu tahun terakhir masa pemerintahan.
Di sisi lain, Partai Demokrat melihat ada perubahan sikap yang ditunjukkan Jokowi belakangan ini. Jokowi yang selama ini dikenal santun, menurut Demokrat, mestinya menggunakan bahasa yang baik dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat sehingga situasi politik akan tetap terjaga.
Menanggapi berbagai kritik ini, Jokowi pun meluruskan kembali maksud politikus sontoloyo. Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, politikus sontoloyo yang ia maksud adalah politikus yang menggunakan segala jurus jelang tahun politik.
Salah satu ciri-ciri politikus sontoloyo itu adalah mereka yang menyerang lawan politik tanpa tata krama. Ia mencontohkan politisasi rencana pencairan dana kelurahan tahun depan.
Kebijakan itu dinilai politis oleh sejumlah pihak karena diputuskan jelang pemilihan presiden 2019. Padahal, menurut Jokowi, kebijakan itu dibuat karena mendengar keluhan wali kota yang merasa timpang dengan desa.
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai ungkapan itu dilontarkan sebagai bentuk kekecewaan Jokowi menghadapi sikap negatif sejumlah politikus jelang Pilpres tahun depan.
“Pak Jokowi menyebut itu untuk politikus yang menghalalkan segala cara,” ujar Emrus.
Selain soal dana kelurahan, menurut Emrus, ungkapan itu juga ditujukan pada sejumlah tudingan politikus yang tak berdasar. Ia menyebut contoh ketika pemerintahan Jokowi dituding menerapkan ekonomi kebodohan.
Hal ini diungkapkan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto saat memberikan pidato di pondok pesantren Minhajurrosyidin, Jakarta, Oktober lalu.
Menurut Emrus, pernyataan semacam itu hanya tudingan tak berdasar yang dilontarkan tanpa data. Alih-alih tanpa data, mereka mestinya mampu menyodorkan data sebagai bentuk kritikan pada kebijakan yang dijalankan Jokowi selama ini.
“Ungkap saja data-datanya, kan tidak semua kebijakan yang dilakukan Pak Jokowi itu baik. Menurut saya itu hanya labeling dari pihak lain yang tidak baik,” tuturnya.
Jika ditilik ke belakang, istilah sontoloyo sejatinya mengalami pergeseran makna yang semula positif menjadi negatif. Emrus mengatakan, sontoloyo merupakan istilah Jawa bagi peternak bebek yang kerap berpindah-pindah tempat. Tujuannya, kata dia, agar bebek mendapatkan asupan makanan dan menghasilkan panen di tempat yang berbeda-beda.
“Jadi ketika panen di suatu tempat selesai, dia pindah ke tempat lain untuk menghasilkan panen lagi,” ucap Emrus.
Namun istilah itu kemudian dimaknai menjadi suatu hal yang negatif. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, sontoloyo merupakan bahasa percakapan yang dimaknai bentuk makian dan menunjukkan kekonyolan atau sikap bodoh.
“Ya memang tadinya yang positif kemudian menjadi negatif. Dalam konteks Pak Jokowi adalah mereka yang menghalalkan segala cara,” katanya.
Sikap Keras Jokowi untuk Lawan Politik
Pendapat berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun. Ucapan politikus sontoloyo ini dinilai menunjukkan sikap ‘keras’ Jokowi pada lawan politiknya. Sikap ini pun, menurut dia, tak datang tiba-tiba.
Dalam beberapa kesempatan, kata Rico, Jokowi telah menunjukkan sikap agresif untuk menyerang lawan politiknya.
“Ini bukan suatu yang tiba-tiba. Pak Jokowi ini orangnya satu level di atas tegas, bisa dibilang keras,” katanya.
Hal ini terlihat sejak Jokowi mengunggah rekaman video berlatih tinju ke akun Youtube miliknya. Tak lama kemudian Jokowi juga meminta para relawan mau diajak berkelahi jika mendapat serangan dari lawan politik. Pernyataan Jokowi saat itu juga sempat memicu kontroversi dari berbagai pihak.
“Nah sekarang pakai kata sontoloyo, itu sebenarnya kelanjutan sikap keras Jokowi terhadap lawan politiknya,” tutur Rico.
Ia meyakini pernyataan Jokowi soal politikus sontoloyo itu dilakukan bukan tanpa perhitungan. Berkaca dari pengalaman selama ini, Jokowi memang kerap melontarkan istilah tak lazim dalam pidatonya.
Rico mencontohkan pidato Jokowi dalam gelaran acara International Monetary Fund (IMF) yang menyinggung ‘winter is coming’ dari serial televisi Game of Thrones untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini.
Ia meyakini Jokowi masih akan tetap menggunakan istilah-istilah semacam itu selama beberapa waktu ke depan.
“Ada kalkulasi di balik perkataan itu. Ke depan rasanya juga masih karena Pak Jokowi gemar pakai kata-kata gitu kan,” katanya.
Jika melihat dari sisi budaya, sontoloyo memang berasal dari istilah Jawa yang berarti peternak bebek.
Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Pande Made Kutanegara mengatakan, kata sontoloyo saat itu identik dengan peternak atau penggembala bebek yang umumnya berasal dari orang miskin.
“Jadi zaman dulu yang memelihara bebek biasanya orang miskin, tidak berpendidikan, hanya sibuk memelihara bebeknya,” kata Made.
Saat ini kata sontoloyo pun dimaknai sebagai umpatan bagi orang yang bodoh. “Dalam kultur Jawa itu mengumpat. Maknanya sebagai orang yang bodoh, kurang pintar, atau tidak berpikir panjang,” katanya.
Bagi sosok seperti Jokowi yang selama ini dikenal dengan karakter santun dan lemah lembut, kata dia, ucapan sontoloyo itu sudah termasuk umpatan keras. Meski demikian, menurut Made, istilah itu masih termasuk umpatan halus dan wajar diucapkan.
“Dalam kultur Jawa itu tetap halus. Ini seperti ‘gemes’ gitu, jengkel karena kalau konteksnya Pak Jokowi ya mungkin sudah melakukan banyak hal tapi tetap saja dinyinyiri,” katanya, “Tapi sontoloyo itu sudah sangat keras bagi orang seperti Jokowi.”
Sumber : CNN Indonesia