Membaca Fenomena Perang Tagar di Indonesia
Oleh : `Aditya Chandra)*
Di dalam sebuah negara demokrasi, perbedaan pendapat tentunya lumrah terjadi karena semua pihak dari berbagai lapisan masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya. Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 saat ini, berbagai aspirasi maupun pernyataan dukungan kepada salah satu pasangan calon pun banyak digaungkan. Salah satu yang paling menarik perhatian publik saat ini adalah hashtag atau tagar 2019 Ganti Presiden dan tagar Jokowi 2 Periode. Namun demikian, fakta yang terjadi masyarakat kita saat ini seakan terbelah dua, antara kelompok #Jokowi2Periode dan #2019GantiPresiden.
Ada yang menarik dari Gerakan #2019GantiPresiden pasca pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilihan Umum 2019. Sebab Prabowo Subianto yang menjadi salah satu bakal calon presiden membantah berhubungan langsung dengan gerakan yang selalu menghantam Jokowi. Padahal sebelumnya dia yang dicurigai menggerakkannya. Perang tagar #2019GantiPresiden merupakan gerakan yang tidak mendidik masyarakat dan dikhawatirkan akan ada gerakan lain yang bisa menunggangi gerakan tersebut, dari gerakan ganti presiden menjadi gerakan mengganti sistem.
Perang tagar ganti presiden saat ini pun tidak hanya terjadi di level dunia maya. Tetapi sudah menjadi sebuah gerakan riil di tengah masyarakat. Kondisi itu yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Ajakan-ajakan yang diberikan oleh para aktivitas tagar 2019 Ganti Presiden ini bukan bertujuan mengadu argumen dan gagasan namun hanya sebatas gerakan emosional dan mengarah pada fragmentasi di tengah masyarakat. Masyarakat bisa masuk dalam jebakan konflik dan menjadi bola liar dan menimbulkan perpecahan sosial di masyarakat.
Apabila kita perhatikan dalam gerakan tagar 2019 Ganti Presiden ini sepertinya memiliki tujuan lain atau agenda tersembunyi lainnya yang cenderung mengancam keutuhan NKRI. Para pakar dari kalangan akademisi pun melihat sejumlah indikasi tagar ‘ganti presiden’ diduga bertujuan mengganti sistem pemerintahan. Misalnya, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menegaskan, penggiat aksi dan deklarasi tagar ini memang menolak dikait-kaitkan dengan HTI dan ISIS. Namun, keberadaan isu yang berkaitan dengan kedua organisasi tersebut tetap melekat dalam setiap aksi dan deklarasinya, yang artinya indikasi HTI dan ISIS di balik gerakan ini sulit dibantah. Sejumlah pihak penggiat tagar ini terkait partai oposisi, pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Lebih jauh Muradi menjelaskan bahwa model kampanye yang digunakan tagar ini, mirip di Suriah; membelah publik dan menciptakan peperangan yang berlarut-larut di Suriah, dan juga Irak.
Hal-hal tersebut di atas menjelaskan beberapa indikasi gerakan ini ditunggangi penumpang gelap yang mengancam NKRI. Pertama, meski penggiat gerakan ini adalah penggiat partai, yang resmi mengusung Prabowo, namun masih enggan mengasosiasikan gerakan dengan pasangan yang diusung. Ini mengindikasikan ada agenda berbeda. Kedua, dalam setiap aksi dan deklarasi yang dilakukan hampir tidak pernah menyebut pasangan yang ingin diusung. Orasinya kerap memancing solidaritas keumatan dengan berbagai isu yang belum teruji kebenarannya. Ini seperti jargon yang sering digunakan HTI dan ISIS yang bila mengacu pada UU Anti Teror telah masuk wilayah penyebaran paham radikal dan ketiga, secara eksplisit mengklaim konstitusional, namun praktiknya itu adalah bagian yang kemudian dijadikan pijakan legal argumentatif.
Lebih jauh bila kita perhatikan saat ini sudah terjadi disorientasi dalam gerakan #2019GantiPresiden. Disinyalir sudah ada pihak-pihak lain yang menunggangi gerakan tersebut, dari upaya mengganti presiden menjadi upaya mengganti sistem negara. Adanya pihak-pihak yang menunggangi gerakan ini. Dari ganti presiden, menjadi ganti sistem dan dikhawatirkan menjadi bola liar menjadi seperti gerakan di Suriah. Oleh karena itu, segala macam gerakan tagar harus dikembalikan pada rel pertarungan demokrasi yang dapat mendidik masyarakat. Menjelang kampanye, dirinya juga berharap akan lebih substantif, yakni menyangkut berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk diantaranya juga dalam konteks ekonomi nasional.
Di sisi lain, gerakan tagar #2019GantiPresiden merupakan gerakan yang terkesan sangat menghakimi. Padahal, dalam suatu negara demokrasi seharusnya ada sebuah dialog adu gagasan. Ketika kita ingin bicara mendidik konteks demokrasi, kita coba dalam koridor kritik. Mengkritik tidak pernah dilarang. Tapi jangan sampai pada menghakimi. Di dalam negara demokrasi memang harus ada dialog dan harus cerdas dalam menggali sebuah permasalahan, bukan menghakimi. Jika tidak, maka justru hanya akan berujung konflik yang berkepanjangan. Pada dasarnya kita semua ingin mendapatkan kualitas pemerintahan yang baik, tetapi bukan berarti kita harus menghakimi seseorang seperti yang dilakukan para penggiat gerakan tagar 2019 Ganti Presiden. Padahal saat ini adalah sebuah proses politik yang tentu ada tatanannya.
Jika kita mengamati secara seksama gerakan tagar 2019 Ganti Presiden merupakan suatu gerakan politik, bukan gerakan sosial. Kalau gerakan sosial, siapa yang dibela, membela rakyat kecil kah, atau membela kelompok-kelompok tertentu? Konflik horisontal berpotensi terjadi. Mari kita berdemokrasi yang lebih baik. Gerakan ini tidak bisa dilarang tapi mengganggu ketertiban umum dan bisa memecah belah anak bangsa. Di sana ada yang pro dan ada yang kontra. Hal tersebut disinyalir ada kepentingan parpol tertentu yang takut bersaing di Pilpres 2019. Presiden Joko Widodo juga telah menyebut banyak pihak yang ingin melemahkan bangsa Indonesia dengan menyebarkan isu tidak beradab dan tak berdasarkan data. Mulai dari isu antek asing, infrastruktur, hutang hingga kaus 2019 ganti presiden. Soal gerakan #2019GantiPresiden, Jokowi menegaskan bahwa yang berhak mengganti presiden adalah rakyat, tentu juga atas kehendak Allah SWT.
Berdasarkan pembahasan di atas, masyarakat Indonesia diharapkan agar lebih selektif menerima ajakan gerakan di media sosial, demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa. Mari kita hormati proses demokrasi, dan ikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh KPU.
)* Penulis adalah Pengamat Politk