Membangun Ekonomi Inklusif: Warisan UU Cipta Kerja dari Kepemimpinan Presiden Jokowi
Oleh: Abdul Maskur *)
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan ekonomi inklusif menjadi salah satu prioritas utama, dengan tujuan mendorong pertumbuhan yang merata di seluruh Indonesia. Salah satu terobosan terbesar dalam mencapai tujuan ini adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020. UU ini dirancang untuk menciptakan iklim investasi yang lebih ramah, mempermudah proses perizinan usaha, serta meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Dengan adanya UU Cipta Kerja, pemerintah berupaya membuka akses yang lebih luas bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk berkembang. Melalui berbagai insentif dan kemudahan perizinan, UMKM kini memiliki kesempatan lebih besar untuk bersaing di pasar nasional maupun internasional. Selain itu, pelatihan dan pengembangan kapasitas tenaga kerja menjadi bagian penting dalam kebijakan ini, guna memastikan bahwa sumber daya manusia Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang terus berkembang.
Warisan UU Cipta Kerja dari kepemimpinan Presiden Jokowi tidak hanya berfokus pada peningkatan investasi, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja yang lebih inklusif. Dengan adanya regulasi yang lebih fleksibel dan ramah investasi, diharapkan banyak sektor ekonomi baru yang akan berkembang, terutama di daerah-daerah yang sebelumnya kurang tersentuh pembangunan.
Dalam masa transisi menuju pemerintahan yang baru, UU Cipta Kerja akan tetap menjadi pilar penting dalam membangun perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia. Karena itu, Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diharapkan melanjutkan implementasi UU Cipta Kerja ini untuk mendorong kemudahan berusaha dan meningkatkan daya saing investasi di Indonesia.
Staf Ahli Menko Perekonomian, Raden Pardede menyatakan bahwa perjuangan untuk mengimplementasikan UU Cipta Kerja telah berlangsung dengan sangat berat dan bahwa implementasinya saat ini masih jauh dari harapan. Menurutnya, jika undang-undang ini dapat dijalankan dengan baik, hasilnya akan sangat positif.
Dampak implementasi UU Cipta Kerja baru akan terasa dalam jangka panjang, dengan potensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% hingga 8% setiap tahun untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), dan mencapai pendapatan per kapita sebesar US$30.000 pada tahun 2045. Hal ini bisa dicapai dengan penerapan UU Cipta Kerja yang maksimal.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Tadjudin Noer Effendi, mengemukakan pandangannya mengenai Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, terdapat beberapa aspek dalam UU ini yang berpotensi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Tak hanya itu, salah satu hal yang menjadi perhatian dalam UU Ciptaker adalah pasal 59 hingga 66 yang mengatur mengenai jam kerja fleksibel. Ia menekankan bahwa UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi perusahaan untuk menyesuaikan jam kerja sesuai dengan kebutuhan produksi dan permintaan pasar. Dengan pengaturan ini, perusahaan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional.
Namun, penggunaan fleksibilitas ini tidak semata-mata memberikan keuntungan bagi perusahaan. Tadjudin juga mengingatkan bahwa adanya pengaturan jam kerja yang fleksibel harus diimbangi dengan perlindungan yang memadai bagi pekerja. Dalam konteks ini, penting bagi perusahaan untuk tetap mempertimbangkan kesejahteraan karyawan, sehingga meskipun jam kerja dapat disesuaikan, hak-hak pekerja tetap terjamin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi peningkatan daya saing Indonesia naik ke posisi 27 dunia dari sebelumnya 34, berdasarkan penilaian Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Menurutnya, kenaikan peringkat itu merupakan dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang mempermudah iklim berusaha di Tanah Air.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menilai dampak UU Ciptaker terhadap kenaikan peringkat daya saing ini ditopang oleh peningkatan pada faktor efisiensi bisnis (dari peringkat ke-20 menjadi ke-14), efisiensi pemerintah (dari peringkat ke-31 menjadi ke-23), dan performa ekonomi (dari peringkat ke-29 menjadi ke-24).
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) berupaya untuk menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja justru lebih melindungi buruh. UU ini hadir sebagai solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Dalam pandangan Kemenaker, dengan adanya pengaturan yang lebih fleksibel, perusahaan dapat beroperasi dengan lebih baik, yang pada gilirannya diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Kedepannya, penting bagi semua pihak untuk terus memantau implementasi UU Cipta Kerja dan melakukan evaluasi secara berkala. Hal ini bertujuan agar kebijakan yang dihasilkan dapat benar-benar bermanfaat dan menciptakan keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan perlindungan pekerja.
Selain itu, partisipasi aktif dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja, sangat dibutuhkan dalam proses pengawasan dan penilaian terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dengan kolaborasi yang baik antara semua elemen masyarakat, diharapkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dapat terus membaik dan menjadi lebih berkeadilan.
Warisan kebijakan ini mencerminkan komitmen Presiden Jokowi untuk meninggalkan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang merata, yang mampu memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
*) Pemerhati Ekonomi dari Pancasila Madani Institute