Membongkar Tugas Utama Badan Siber dan Sandi Negara
Jakarta, LSISI.ID – Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) akhirnya resmi dibentuk Presiden Joko Widodo kemarin. Mantan Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) Djoko Setiadi dipercayakan Jokowi untuk memimpin lembaga yang akan berkoordinasi langsung dengan presiden tersebut.
Lembaga baru ini diyakini lebih optimal daripada Lemsaneg sebab akan mengoordinasikan satuan siber yang ada di seluruh instansi pemerintahan. Pakar siber Ruby Alamsyah berharap badan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 53 tahun 2017 itu menjadi penopang utama dalam menjaga keamanan kedaulatan siber Indonesia.
“Mengoptimalkan sumber daya yang ada di pemerintahan. Targetnya hanya melakukan koordinasi lembaga berinfrastruktur IT (teknologi informasi) kritis,” kata Ruby.
Di mata pakar forensik digital tersebut lembaga kritis yang paling utama adalah Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perhubungan.
Secara keseluruhan, Ruby menilai, infrastruktur IT di setiap instansi pemerintah selama ini kurang maksimal dalam menjaga keamanan siber. Salah satunya adalah soal sumber daya manusia (SDM) untuk menjaganya.
“Perlu menjaga kalau ada apa-apa siapa bertanggung jawab. Diharapkan BSSN di situ menjadi leading sector (penopang utama),” ucapnya.
Pria yang kerap dijuluki Detektif Forensik Digital Indonesia itu berharap BSSN pun mampu menjalankan tugas utama meningkatkan kesadaran seluruh instansi pemerintah dan masyarakat umum mengenai keamanan siber.
Menurutnya, terutama setelah Undang-undang Informasi Teknologi dan Elektronik (ITE), masyarakat hanya berpandangan langsung melapor bila dirugikan di dunia maya.
“Karena namanya dunia siber jadi seakan enggak kelihatan. Padahal pertahanan itu harus ada di sisi pengguna,” Ruby menegaskan.
Jika kesadaran masyarakat meningkat, BSSN nantinya dapat melihat hal-hal atau kewenangan yang sangat dibutuhkan dalam menjaga kedaulatan infrastruktur IT Indonesia.
Hal ini disampaikan menyikapi pandangan Kepala BSSN Djoko Setiadi mengenai perlunya kewenangan menindak ketika mengetahui atau menemukan ancaman di dunia siber.
“Sambil jalan saja. Ini kan bayi baru lahir. Sekarang belum ada karena badan ini sifatnya koordinatif tapi dia bisa gunakan itu meminta aparat menindak,” kata Ruby.
Bukan Senjata untuk Tangani Hoaks
Di sisi lain, Ruby menyayangkan, apabila BSSN hanya dikaitkan atau difokuskan menangkal penyebaran berita-berita bohong (hoaks) di dunia maya.
“Penangkalan hoaks tidak perlu buat badan besar seperti BSSN seperti mubazir. Seperti kebesaran senjata,” ucapnya.
Permasalahan di dunia maya, kata Ruby, tak hanya soal hoaks. Ruby menuturkan, pencurian data riil terjadi di Indonesia justru lebih mengancam kedaulatan dunia siber seperti kasus Nigerian Scammer (Tipuan Nigeria) yang ia tangani.
Tipuan Nigeria biasanya menjaring korban dengan sejumlah modus, seperti tidak bisa mengakses uang mereka karena konflik, melalui internet sehingga korban mau mengirimkan uang. Hal itu menyebabkan kerugian mencapai Rp500 miliar per tahun.
Ruby juga mengingatkan soal sorotan pada kedaulatan siber Amerika Serikat saat pemilihan presiden 2016 silam. Kasus itu membuat Secret Service (Pasukan Pengamanan Presiden) turun tangan.
“Cyber crime dianggap mengganggu kedaulatan negara. Jangan jadikan menangkal hoaks sebagai tugas utama BSSN. Balik ke tupoksi awal menjaga keamanan,” ia menegaskan.
Sementara itu, dalam menangani hoaks, Ruby berpendapat BSSN dapat mengoordinasikan antarlembaga agar bisa mengontrol penyebaran serta meminta penegak hukum lebih masif.
Sumber : CNN Indonesia