Mencermati Potensi Politisasi di Lingkungan Masjid
Oleh : Raditya Rahman )*
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam, tidaklah sulit untuk menemukan masjid atau mushola di berbagai tempat baik di kota maupun di desa, bisa dibilang tak ada satu kecamatanpun yang tidak memiliki masjid.
Namun menjelang kontes politik 2019, masjid serasa beralih fungsi dari tempat ibadah sampai pada tempat untuk mengkampanyekan calon presiden, tak hanya itu bahkan ujaran kebencian terhadap minoritas juga acapkali di lontarkan oleh pengkhotbah.
Mimbar – mimbar di masjid yang semestinya menyuarakan tentang keagamaan, lantas berubah menjadi podium – podium dakwah yang disisipi kampanye partai politik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menemukan pelanggaran kampanye Pemilu Presiden 2019, dimana terdapat ustaz yang menyelipkan pesan kampanye dalam khotbahnya di sejumlah masjid di Provinsi Jawa Barat.
Padahal segala bentuk kampanye politik di rumah ibadah seperti masjid merupakan hal yang bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU yang melarang kampanye di tempat ibadah, sarana pendidikan dan fasilitas pemerintahan.
MUI juga menilai selain melanggar peraturan dari KPU, hal tersebut juga menodai agama karena terjadi politisasi agama. Semestinya pengajaran agama tidak dinodai dengan pengarahan kepada umat untuk memilih salah satu nama atau nomor pasangan calon presiden.
Pihaknya juga pernah menemukan kasus serupa di kawasan Bandung Raya, politisasi tempat ibaah terjadi menjelang pilgub 2018, yakni ketika pengkhotbah di sebuah masjid mengarahkan dengan jelas kepada para jamaahnya untuk memilih salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dengan mengarahkan pasangan nomor mana yang harus dipilih.
Model kampanye terdiri dari dua macam. Yaitu kampanye damai, yakni dengan cara yang santun dan kampanye hitam, yakni dengan menjatuhkan lawan politik.
Namun dari kasus diatas tentu akan memunculkan perdebatan, bolehkah ketika pengajian, tabligh akbar bahkan khutbah jumat yang dilaksanakan di masjid, lalu ada tim pemenganan yang melakukan kampanye?
Jika menengok pada sejarah, awal mula kampanye di masjid sebenarnya sudah muncul sebelum adanya partai politik dan dilaksanakannya sistem voting yang kita ketahui di sistem demokrasi.
Kala itu Muawiyah bin Abu Sufyan menggunakan masjid untuk berkampanye bahkan untuk menjatuhkan lawan politiknya yaitu khalifah Ali bin Abi Thalib. Dirinya memanfaatkan kasus pembunuhan khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid damaskus barang – barang yang ditinggalkan Usman bin Affan beserta potongan jari istrinya.
Itu sebuah kisah lama yang tentunya tidak bisa dipergunakan lagi di era modern. Dimana keetika di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain seperti perdagangan dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran dan gesekan sosial.
Dalam hal ini tentu pengurus / takmir masjid hendaknya menolak politikus dan tim pemenangan partai yang melakukan kampanye politik. Baik melalui ceramah, tebar pamflet hingga memasang spanduk di lingkungan masjid,
Politisasi masjid tentu akan meningkatkan kekhawatiran akan marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye politik dan budaya menjatuhkan lawan politik seperti yang dilakukan muawiyah kepada khalifah Ali bin Abi Thalib. Sejatinya dakwah itu menyeru manusia ke jalan Allah SWT, bukan menyeru kepada golongan atau partai.
Masjid – masjid bisa kehilangan kehangatannya apabila intrik politik telah masuk kedalam mimbar. Kesyahduan masjid akan hilang jika pengurusnya diisi oleh para broker kekuasaan. Baik disengajan maupun karena ketidaktahuan.
Berbagai bentuk kampanye di masjid seperti pemasangan spanduk politik atau kampanye berbalut khotbah, maka hal tersebut adalah bentuk kudeta terhadap rumah Allah.
Masjid akan kehilangan keteduhannya jika isi khotbah dicampuri dengan penggiringan opini publik dan ujaran kebencian. Jamaah pulang dari masjid membawa hati yang mengeras. Bathinnya menjadi kosong, hanya dahinya yang gosong.
Maka apabila masih ada umat Islam yang menodai masjid dengan kampanye di balik mimbar – mimbar masjid untu mendapatkan kekuasaan dengan cara menebarkan kebencian dan caci maki terhadap sesama umat Islam itu sendiri, pada hakikatnya mereka adalah anak ideologis dari Muawiyah yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai pemimpin bengal, kejam dan haus akan kekuasaan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan memberikan tindakan tegas jika ada pihak – pihak yang berkampanye pada tempat yang dilarang, seperti tempat ibadah, sarana pendidikan dan fasilitas pemerintah.
Kaum muslim di Indonesia sudah semestinya mengembalikan fungsi masjid untuk kepentingan ibadah dan dakwah, serta membangun semangat toleransi dikalangan masyarakat. Sudah saatnya umat Islam berhenti memperbincangkan politik praktis di masjid yang nyatanya lebih membawa kemudharatan daripada kemaslahatannya.
Bagaimanapun caranya masjid harus kembali dijadikan tempat sakral yang steril dari berbagai kepentingan politik praktis tertentu. Hal ini dikarenakan jamaah yang ada di dalam masjid berasal dari beragam kelompok umat Islam, bukan melulu kaum partisan dan pendukung parpol ataupun paslon tertentu. Sehingga para pengurus masjid dan jajarannya perlu menyadari akan adanya pluralitas dan kompleksitas umat Islam.
Mengembalikan masjid menjadi tempat ibadah yang murni adalah PR besar umat Islam saat ini. Biarkan politisai bertarung di lapangannya. Jangan biarkan masjid menjadi ranah pertarungan politik. Menolak politisasi masjid adalah langkah konkrit untuk menyelamatkan masjid.
Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan umat Islam yang harmonis, tentu dibutuhkan peran dari berbagai pihak agar masjid dapat menjadi tempat pemersatu dan bukan menjadi tempat untuk memecah belah kaum muslim, sehingga misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin betul – betul terwujud di masyarakat.
)* Penulis adalah pemerhati sosial politik