Mendukung Hasil Resmi Pemilu 2019 Sebagai Wujud Berdemokrasi Secara Konstitusional
Oleh : Luluk Fadilah )*
Pemilu 2019 membuat polarisasi politik menjadi begitu kuat. Politik identitas menjadi alat untuk melakukan propaganda dalam menjaring dukungan. Bahkan, di media sosial perbedaan itu sangat kentara. Seperti pinang dibelah dua, media sosial seolah-olah menjadi rumah pertengkaran yang nyaman bagi kedua kubu dengan sebutannya masing-masing, cebong dan kampret.
Dalam konteks demokrasi yang hanya menghadirkan kedua pasangan calon, polarisasi memang menjadi hal yang lumrah. Namun, dengan catatan, polarisasi itu tidak melampaui batas. Artinya, keduanya mendukung dan mengampanyekan calonnya dengan batasan-batasan yang rasional, tidak saling serang dengan menebar fitnah dan menutup kebenaran yang ada di pihak lawannya. Cara-cara berpikir oposisi biner memang harus dihindari. Sebagai sebuah kontestasi politik yang terbuka dan rahasia, sudah semestinya publik disajikan asupan-asupan positif. Sehingga publik bisa berpikir jernih dalam menentukan pilihannya—bukan malah terjerat pada polarisasi yang didasari kebencian pada yang lain. apalagi yang disusupi dengan muatan-muatan agenda terselubung yang dapat memecah belah bangsa dan merubah segala tatanan kebangsaan kita.
Bahkan, polarisasi yang berlebihan kerap menghilangkan seni dalam politik itu sendiri. Adanya polarisasi membuat politik menjadi sangat kaku dan rawan terjadinya gesekan. Suka atau tidak, kontestasi politik hari ini bisa dibilang menyedihkan. Kenapa, karena kita tidak melihat pertarungan ide yang ditawarkan untuk membangun bangsa lima tahun ke depan. Artinya, keduanya pun terjebak pada bagaimana menyerang lawan dengan berlomba-lomba menaikkan tagar yang saling menyudutkan. Di media sosial, perang tagar silih berganti. Publik pun dipaksa mengikuti pertarungan yang sama sekali tidak memiliki esensi. Kita memahami kenapa hal tesrebut terjadi, karena jika tidak diklarifikasim maka sesoalh-olah menjadi benar semua tuduhan dan fitnah, sehingga kedua belah pihak menjadi saling serang.
Pertarungan semacam itu tentu saja tidak mendidik, karena kita hanya disajikan keburukan-keburukan yang diekspos oleh masing-masing. Hal semacam ini bisa dibilang kemunduran dalam berdemokrasi kita. Bahkan, yang sangat menyedihkan, aktor-aktor politik oposisi menjadi produsen hoaks terbesar dan berpotensi memecah belah bangsa, jika kemasan-kemasan yang dikapitalisasi adalah isu-isu SARA.
Sangat disayangkan lagi, kejadian tersebut berlanjut setelah pencoblosan. Elite politik justru memamerkan kegagapan dalam berdemokrasi. Wacana-wacana negatif digemborkan, seolah pemilu yang berjalan adalah kecurangan. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan yang kita miliki pun hilang, sopan santun menjadi barang langka dan caci maki menjadi satu-satu jurus handal. Perdebatan keduanya—yang kerap dibumbuhi cacian dan makian—tidak akan pernah selesai, pun tidak akan pernah memberikan nilai pembelajaran bagi masyarakat. Justru, perdebatan semacam itu hanya akan menjadi pemicu ketegangan dan membuat masyarakat terbawa pada pandangan benar dan salah semata. Akhirnya, kontestasi politik hanya menjadi ladang bagaimana mencari kesalahan orang lain. Hal ini dapat dilihat dikarenakan hanya berorientasi pada “HARUS MENANG” tapi TIDAK SIAP KALAH, sehingga segala cara sejak awal hingga selesainya pencoblosan, narasi-narasi yang dibangun memiliki keterkaitan dan terkesan sudah diskenariokan, ini berbahaya untuk masa depan demokrasi yang telah kita sepakati.
Para elite politik yang terus menyuarakan pemilu curang harusnya justru menjadi energi positif untuk menyikapi hasil pemilu yang memang masih dalam tahap penghitungan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena bagaimanapun juga, KPU adalah institusi remsi yang menentukan dan mengumumkan hasil pemilihan. Keputusan ini pun harus diterima oleh semua pihak tanpa terkecuali. Kalau pun ada kejanggalan yang dinilai mengarah pada adanya kecurangan, jalan konstitusi yang sudah ditentukanlah yang harus ditempuhnya. Oleh karenanya, seruan perdamaian dari elite politik tidak bisa ditawar lagi. Semua masyarakat harus dihimbau untuk menunggu hasil resmi dari KPU. Jangan sampai kedua pendukung dibiarkan liar—baik di dunia maya maupun dunia nyata—dengan asumsi-asumsi sepihak yang hanya memicu ketegangan.
KPU sudah sangat profesional karena proses Pemilu dilaksanakan secara jujur, adil dan terbuka. Karena itu, jika menakar integritas dan netralitas KPU sebagai penyelenggara dalam konteks Pemilu 2019 tampak sekali betapa upaya KPU benar-benar serius untuk melaksanakan hajatan demokrasi secara terbuka tanpa diwarnai pelbagai tindakan yang paradoks yang sesungguhnya akan mendestruksi nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini, patut diapresiasi dan didukung kinerja KPU yang benar-benar melakukan pelbagai tahapan dan persiapan selama proses pemilu Pilpres dan Pileg berlangsung secara maksimal. Bahwa masih belum sempurna , mari kita perbaiki terus menerus sesuai dengan koridor konstitusi, bukan justru mendelegitamsi penyelenggara karena merasa kalah, jangan sampai KPU selalu salah di mata yang kalah.
Singkatnya, membiarkan pertarungan politik dengan mengesampingkan etika, sama halnya dengan membunuh bangsa secara perlahan. Terakhir, seketat apa pun peraturang politik, tetap saja “nalar” jauh lebih penting dibanding “tagar”. Karena sejatinya dari kontestasi politik adalah menciptakan nilai perdamaian di balik perbedaan pilihan yang memang niscaya. Saatnya kita semua dewasa dalam berdemokrasi, saatnya kita satukan persaudaraan kita untuk kemajuan bangsa ini, jangan mudah terprovokasi dengan ajakan-ajakan dan hasutan-hasutan untuk melakukan tindakan tindakan yang Inkosntitusional. Mari kita dukung keberlanjutan Kepemimpinan Nasional dengan damai dan cerdas.
)* Penulis adalah Blogger- Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang