Mendukung Pelabelan KKB Papua Sebagai Teroris
Oleh: Abie
Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md telah mengubah penyebutan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua menjadi kelompok teroris.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan keputusan penyebutan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau KKB Papua sebagai organisasi teroris sudah dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Sebagaimana didefinisikan dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Penyebutan KKB sebagai organisasi/individu teroris diambil dengan pertimbangan yang matang, dengan memerhatikan masukan dan analisis dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar pemerintah, berdasarkan fakta-fakta tindakan kekerasan secara brutal dan masif di Provinsi Papua selama beberapa waktu terakhir yang menyasar masyarakat sipil dan aparat, yang dilakukan oleh KKB,” kata Jaleswari
Perubahan sebutan tersebut dilakukan sebagai respon pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua. Tentu dengan perubahan tersebut Langkah dan Tindakan yang diambil dalam menumpas KKB di Papua dapat terukur sehingga tidak menimbulkan banyak korban.
Penyebutan KKB sebagai organisasi/individu teroris juga dimaksudkan untuk mengefektifkan tindakan penegakan hukum oleh pemerintah terhadap KKB guna memastikan seluruh instrumen penegakan hukum yang diatur dalam UU No.5 Tahun 2018 dapat dimaksimalkan.
Namun dibalik tujuan efektifitas penanganan Papua, perubahan tersebut juga akan menimbulkan beberapa konsekuensi, diantaranya: ujung tombak penanganan, pengklasifikasian/penyebutan spesifik kelompok teroris Papua dan dampak dari penangkapan nantinya terhadap kapasitas dan ketersediaan penjara.
Konsekuensi tersebut dijelaskan oleh Pengamat terorisme dan intelijen Ridlwan Habib bahwa ada tiga konsekuensi setelah kelompok kriminal bersenjata berubah dan ditetapkan menjadi teroris.
“Pertama ujung tombak penanganan adalah Polri dalam hal ini Densus 88, dan para pelaku dihukum menggunakan UU 5 tahun 2018,” kata Ridlwan. Polri bisa meminta bantuan TNI, bahkan pasukan khusus TNI dalam operasi penegakan hukum terhadap terorisme, namun perlu segera ada Perpres TNI mengatasi terorisme sebagai payung hukum dan bisa segera ditandatangani oleh Presiden Jokowi,” terangnya
Kedua menurut adalah penyebutan secara spesifik kelompok terorisme di Papua mesti berdasarkan pimpinan mereka. Jangan sampai kata Ridlwan salah menyebut sebagai kelompok teroris Papua karena akan membuat marah warga Papua lain yang tidak mendukung.
“Sebut saja nama kelompoknya misalnya kelompok teroris Lekagak Telenggen, kelompok teroris Goliat Tabuni, kelompok teroris Kely Kwalik, dan seterusnya,” tuturnya.
Ridlwan menambahkan, konsekuensi ketiga adalah Densus 88 bisa menangkap siapa saja yang setuju, atau mendukung aksi-aksi bersenjata di Papua. Termasuk mereka yang mendukung di medsos. “Misalnya Veronika Koman, selama ini mendukung KKB di Twitter, bisa ditangkap atas dugaan terorisme sesuai UU 5 tahun 2018,” kata Ridlwan.
Penangkapan itu juga bisa dilakukan terhadap aktivis-aktivis pro KKB yang berada di kota-kota di luar Papua. “Misalnya di Yogya, di Surabaya, kalau ada indikasi kelompok itu mendukung KKB sekarang bisa dihukum dengan UU terorisme,” ucapnya. Dengan demikian perlu dipikirkan masifnya penangkapan, termasuk kapasitas penjara yang digunakan nanti.
Menurut hemat penulis, disamping konsekuensi tersebut diatas terdapat potensi isu yang akan dimainkan kelompok pro kemerdekaan Papua nantinya yakni soal isu pelanggaran HAM. Bahkan selama ini ULMWP sebagai organisasi pro separatis Papua selalu memainkan isu tersebut di forum Internasional. Untuk itu, Pemerintah sedang menyiapkan kerangka operasi yang komprehensif, yang memerhatikan secara ketat prinsip-prinsip HAM. Ujar Jaleswari
Menurut Jaleswari, kepentingan yang utama adalah memulihkan keamanan dan menghentikan teror yang meningkat dan berlanjut di masyarakat akhir-akhir ini, serta tetap mengedepankan penyelesaian persoalan Provinsi Papua dengan pendekatan kesejahteraan, misalnya, dengan dikeluarkannya Inpres No.9 tahun 2020.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini