Mendukung Pemberantasan Paham Radikal
Oleh : Alfisyah Kumalasari )*
Dewasa ini penyebaran paham radikal dianggap mengkhawatirkan karena didukung, perkembangan teknologi yang makin canggih. Maka dari itu langkah pemerintah guna memberantas paham ini menuai dukungan. Mengingat, bahaya laten radikalisme cukup meresahkan.
Berada di era 4.0 ini memang seringkali membuat kita harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit saja akan membuat kita terlena. Apalagi era digitalisasi yang kian marak menjadikan penggunanya lupa diri. Pengakuan eksistensi di dunia maya seolah begitu diimpikan. Lonjakan follower juga kiranya membuat pengguna internet jadi ketagihan. Dunia digital dinilai berpengaruh akan penyebaran paham radikal, karena melalui jejaring sosial radikalisme berekspansi tanpa dapat terdeteksi.
Radikalisme sendiri merupakan paham atau gagasan guna melakukan perubahan sosial-politik yang menganut cara-cara ekstrem, termasuk kekerasan dan tindak terorisme. Mereka yang berpaham radikal seringnya mengambil jalan pintas untuk dapat mendominasi sistem sosial di suatu negara maupun wilayah. Perkembangan paham radikal di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, mengalami pergerakkan yang signifikan, bahkan berada di level mengkhawatirkan.
Paham radikal menyebar seolah tak kenal usia, tua-muda, anak sekolah hingga pejabat atau aparat keamanan tak menjamin akan bebas dari ancaman radikalisme. Kasus terbaru adalah bom bunuh diri di wilayah Medan, pelaku diduga menganut sistem Lone Wolf yang populer dengan sistem kerjanya secara mandiri. Meski mandiri, tak menutup kemungkinan jika pelaku ini telah berafiliasi dengan sejumlah kelompok radikal di berbagai wilayah melalui jaringan internet.
Hal ini turut dibenarkan oleh banyak pihak maupun masyarakat. Menurut kabar, di dalam media sosial ini terdapat situs atau link menuju grup-grup rahasia yang memang sulit terdeteksi. Mirisnya lagi, dalam media sosial tersebut setiap harinya dikirimkan konten-konten maupun ajakan negatif terkait kekerasan dan terorisme. Logikanya, jika pihak-pihak yang labil imannya akan sangat mudah kesetrum aliran radikalisme ini. Yang mana, setiap hari dijejali oleh pemahaman yang salah kaprah dan merusak.
Melihat hal tersebut, Presiden Joko Widodo turut prihatin. Pihaknya meminta kepada jajarannya guna melakukan pencegahan gerakan radikalisme yang dinilai sangat serius. Jokowi menegaskan, jika pemberantasan radikalisme serta intoleransi adalah salah satu fokus pada pemerintahannya yang kedua.
Apa pun itu, tentunya kita sepakat dengan Presiden yang menyikapi dengan cermat persoalan radikalisme yang terus membayangi bangsa ini. Jikalau benar radikalisme tidak terlepas dari pengaruh global, maka gerakan radikalisme memang terus bertumbuh dengan skala lebih masif yang sejalan dengan revolusi informasi era siber fisik. Dengan begitu, mau tak mau Indonesia harus mempersiapkan diri guna melawan dampak global yang negatif termasuk perkembangan radikalisme.
Akar persoalan itu sebenarnya telah didapatkan. Namun, problematika terkait hal ini belum mampu diselesaikan dan dituntaskan secara komprehensif. Dengan pendekatan baru yang lebih substantif tersebut, pencegahan dan pemberantasan paham radikalisme akan lebih membawa hasil.
Jika melihat pendekatan untuk memecahkan persoalan radikalisme selama ini memang dirasa masih minim hasil. Indikasinya gejala radikalisme kian hari kian berkembang, makin marak dan mengkhawatirkan.
Maka dari itu sistem pendekatan untuk mengatasi radikalisme harus bermetamorfosa. Pola lama yang tidak efektif dan cenderung oversimplifikasi serta overgeneralisasi dalam memandang radikalisme tidak boleh dilanjutkan. Namun, konsekuensinya harus meninggalkan program serta rencana aksi yang tak efektif maupun bersifat kontraporduktif. Dengan kata lain, harus mencari subtitusi program serta rencana aksi yang lebih baik dan juga produktif.
Mengutip penegasan Menko Polhukam Mahfud MD, bahwa radikalisme ini tidaklah menunjukkan jati diri agama Islam atau agama tertentu, atau pihak, orang, dan ormas tertentu.
Pendekatan serta paradigma baru guna menangani radikalisme sebaiknya juga lebih menyasar pada inti masalah. Salah satunya ialah kesenjangan atau ketidakadilan, tak hanya di sektor ekonomi, melainkan juga politik, hukum, sosial, dan juga kemasyarakatan. Sehingga nantinya optimalitas kinerja pemberantasan radikalisme ini akan segera membuahkan hasil.
Mantan teroris Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, urun pendapat bahwa orang-orang yang menganut ideologi kekerasan atau teroris tidak akan mampu disadarkan dengan argumentasi. Mereka bukanlah orang yang perlu dinasihati. Menurutnya, pendekatan secara ekonomi akan lebih meresap bagi para penganut ideologi kekerasan. Sebab, mereka (pelaku radikalisme) akan merasa diperhatikan, termasuk anak, istri maupun keluarganya. Dirinya yakin dengan cara tersebut mereka akan melunak, apalagi jika kondisi perekonomian juga bagus.
Kesimpulannya, upaya deradikalisasi dengan pendekatan non kekerasan sangat dianjurkan. Mengingat kekerasan memang tak bisa dilawan dengan kekerasan pula. Namun tetap harus ada pemikiran secara cerdas guna menanggulangi paham radikal ini lebih lanjut.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik