Mendukung Pemberantasan Paham Radikal
Oleh : Muhammad Ridwan )*
Masyarakat mendukung pemberantasan ideologi radikal. Selain mengancam harmonisasi masyarakat, paham radikal dianggap menjadi pemicu utama aksi teror yang mengganggu stabilitas nasional.
Layaknya suatu kehidupan, dalam berbangsa dan bernegara tentunya memiliki suatu permasalahan. Salah satunya ialah penyebaran paham radikal. Bagai benalu yang terus menggerogoti tumbuhan inangnya, mereka seolah diam namun perlahan mampu membunuh tempat ia bernaung. Kelompok radikal ini memang menyusup di celah manapun yang ia temui. ASN misalnya, atau lini terbawah masyarakat hingga pelajar dan anak-anak yang notabene masih dibawah umur.
Mereka melancarkan teror sesuai rencana, yaitu memecah belah persatuan demi tujuan yang ingin diluluskan. Meski kerap kali menemukan kegagalan, pelaku radikalisme sepertinya tak kapok. Mereka selalu punya ide untuk menggoncang keamanan negara, melambungkan sejumlah isu dan menggemparkan warga dengan aksi-aksi menyimpangnya, seperti bom bunuh diri.
Saat ini, banyak rakyat yang kesadaran dan pikirannya sudah tersusupi paham radikal ini. Tak pandang bulu, hampir semua komponen bangsa telah dirasuki, mulai rakyat jelata, mahasiswa, legislatif, birokrat, politisi, guru, dosen, bahkan aparat keamanan seperti Polisi. Terlebih kalangan generasi muda, yang mana sedang dalam proses mencari jati-diri, sangat mudah dipengaruhi.
Di Indonesia, paham Islam radikal dinilai lebih sulit untuk memberantasnya. Buktinya sejak zaman Soekarno hingga Soeharto, paham ini telah ditumpas , tapi seolah pertumbuhannya tidak pernah habis. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sejumlah proses doktrinisasi dan penyebaran paham Islam radikal secara halus bersembunyi pada Islam yang merupakan penganut agama terbesar di Indonesia.
Deteksi gejala-gejala orang yang telah terpapar paham ini juga dirasa sangat sulit, karena melalui proses pengkaderan halus, perlahan-lahan, dan secara bertahap. Sehingga dianggap masih berada dalam batas kewajaran dan biasa saja. Hingga pada saatnya mereka bertransformasi menjadi militan dan tidak mampu lagi dipulihkan.
Sebagai contoh pembubaran secara formal sebuah organissasi, misalnya seperti Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), hanya bisa menghambat kegiatan terbuka dari organisasi tersebut. Pada kenyataanya organisasi lain dengan nama berbeda dapat saja diboncengi. Lagi pula intinya bukan pada formal organisasi, namun bagaimana penyebaran paham melalui proses manipulasi kesadaran dan pikiran manusia Indonesia dapat dicapai secara sistematis, terstruktur dan juga masif.
Fakta akan tumbuh suburnya penyebaran paham radikal melalui sebuah ormas bukan lagi menjadi sebuah rahasia. Bahkan, terang-terangan mereka ini menyatakan perang dengan pemerintah. Parahnya, pelaku tindakan radikal akan menganggap orang lain kafir, pembangkang dan sejenisnya jika dinilai tak sepaham. Bukankah ini sama saja seperti maling teriak maling. Mereka yang berbuat kesalahan malah kembali menuduh pihak lain yang melakukannya.
Gerakan radikal sebetulnya bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan, kebiasaan hidup sehari-hari yang dibawa oleh keluarga. Awalnya dari sikap intoleransi kecil yang berlangsung setiap harinya. Pembiaran-pembiaran seperti ini akhirnya menumbuhkan sisi egoisme yang tinggi hingga mampu berpikir menyingkirkan manusia lain yang tak sejalan. Meski sepele, penumbuhan sikap toleransi ampuh menyaring berbagai masukan-masukan yang bersifat menyimpang dan menetralkannya kembali.
Apalagi kini propaganda-propaganda gerakan radikal bergerak cukup aktif, khususnya melalui dunia digital. Alih-alih mendapatkan sejumlah manfaat dari kecanggihan teknologi, malah kemudharatanlah yang didapat. Parahnya mereka (pelaku gerakan radikal) seolah tak sadar karena sedang asyik hidup dalam dunianya sendiri. Berbagai akses masuk menuju paham radikal begitu terbuka lebar, yang sayangnya sulit dideteksi oleh para aparat keamanan dan pemerintahan.
Namun, bukan berarti negara menyerah begitu saja. Aneka upaya pemberantasan gerakan radikal terus digalakkan. Mulai dari penerapan deradikalisasi hingga pendekatan personal tanpa kekerasan. Termasuk dukungan dan bantuan secara ekonomi turut dilakukan. Kendati demikian, paham yang melekat erat seperti penyakit kambuhan. Jika efek ‘penyembuhan’ hilang, mereka akan berubah dan kembali kepada peran yang sebelumnya mereka jalankan. Sehingga upaya ini memang membutuhkan kesabaran.
Negara diam bukan kalah atau menyerah, namun tengah menyusun sejumlah strategi agar upaya pemberantasan gerakan radikal mampu dihilangkan hingga akar-akarnya. Untuk itu negara membutuhkan dukungan besar dari seluruh komponen warga negara Indonesia untuk dapat bersinergi melawan dan menolak paham radikal yang mendangkalkan hati dan juga pikiran. Persatuan dan kesatuan agaknya masih menjadi cara paling ampuh untuk melumpuhkan gerakan ini. Sehingga, mari bersatu padu untuk selalu waspada akan segala kemungkinan yang terjadi. Demi terciptanya stabilitas nasional yang aman, damai dan nyaman.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik