Polemik Politik

Mendukung Pemberantasan Radikalisme Hingga ke Akarnya

Oleh : Zaki Walad )*

Masalah radikalisme di Indonesia ternyata tidak akan pernah habis untuk dibahas, ideologi yang merongrong demokrasi dan pancasila tersebut ternyata telah menyebarkan gaungnya hingga mengakar ke sektor politik, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya. Masyarakat pun mendukung pemberantasan radikalisme hingga ke akarnya.

Kita tentu sepakat bahwa Radikalisme bukan merupakan ajaran agama manapun. Meski demikian di Indonesia sendiri istilah Islam Radikal sudah menjadi sesuatu yang sering dibahas oleh berbagai pihak.

Meski istilah tersebut terkadang menyinggung dan mengabaikan kesucian Islam, namun ternyata beragam rekam jejak aksi radikalisme dengan diiringi kalimat takbir telah menjadikan istilah Islam radikal menjadi daftar kosakata masyarakat Indonesia secara umum.

Tentu saja tidak dapat dipungkiri, dalam sejarah Islam itu sendiri, sekelompok radikal ini sudah ada sejak lama, kelompok tersebut dikenal dengan istilah kelompok khawarij.

Golongan khawarij memang sudah lama punah, tetapi sebagai paham khawarijisme atau yang saat ini jamak disebut radikalisme nyatanya masih ada. Abul Ala Maududi (1903-1979) menulis, khawarij tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah. Tetapi karakteristiknya dijadikan model kefanatikan mazhab oleh semua mazhab yang ada di Indonesia.

Secara spesifik, yang menjadi ciri khas kelompok radikal ini adalah pemahaman yang formalistis, patuh ritual tetapi kurang ukhuwah.

Mereka sangat patuh kepada teks formal al-Qur’an dan Hadist. Mereka hampir tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka mengambil hanya apa yang tersurat.

Salah satu semboyan dari Khawarij yang terkenal adalah “la hukna illa lillah” yang artinya tiada hukum kecuali kepunyaan Allah. Semboyan tersebut lahir berdasar ayat “waman lam yahkum bi ma ansalallah fa ulaika humul kafirun”. Mereka menghukum kafir siapa saja yang memutuskan perkara tidak berdasarkan al-Qur’an.

Padahal Al-Qur’an bukan hanya mengandung ayat-ayat praktis, bahkan berdasarkan al-qur’an yang mereka maksudkan adalah sesuai dengan standard mereka.

Selanjutnya, secara koherensial kelompok radikalisme yang berbungkus keagamaan ini bisa ditemui pada masa lampau, dimana mereka sangatlah patuh menjalankan ibadah ritual, tapi sangat kaku dalam hubungan sosial, bahkan kepada sesama kaum muslimin.

Dalam Musnad Ahmad dikisahkan, bahwa di depan Nabi Muhammad SAW, ada seorang laki-laki yang terkenal khusuk dalam ibadat. Tapi Nabi menubuwwatkan bahwa orang itu akan menjadi sumber perpecahan di kalangan muslim, dan menurut para ulama hadist laki-laki itu kelak menjadi penghulu kaum khawarij.

Jadi, radikalisme itu bukanlah islamisme, kelompok yang dianggap Islam Radikal itu adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab disandingkannya kata Islam pada gerakan yang jelas menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.

Dalam hal ini bukan pada ayat Al-Qur’an atau matan Hadist apa yang disampaikan, melainkan oleh siapa yang menyampaikan itu. Karena ajaran tentang kekerasan dan memecah belah tidak pernah diajarkan oleh agama manapun.

Kita pun kini tersadar bahwa budaya Islam ala Arab Konservatif telah datang dengan masifnya di Indonesia. Para simpatisan wahabisme juga semakin liar dalam mengampanyekan teologi ketauhidan yang berpandangan orang maksiat saja sudah dianggap kafir.

Meski aksi radikal cenderung menurun, namun radikalisme agama tetap tumbuh subur dan memperoleh tempat di sebagian masyarakat. Tak jarang justru kaum radikalis menyusup dalam aksi demonstrasi melawan pemerintah.

Alhasil, radikalisme yang masih mengakar akan tetap beresiko memunculkan gesekan sosial seperti anti persatuan, anti demokrasi, separatisme dan aksi teror tempat ibadah.

Oleh karena itu, kita pun harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari keberagaman. Jika kita tidak bersikap toleran dan berpikir terbuka, maka akar-akar radikalisme pun dapat dengan leluasa mempengaruhi pikiran kita.

Pemerintah pun juga perlu menjadi lokomotif dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa guna menghindarkan Indonesia dari ancaman ideologi radikalisme.

Tentu saja kita harus memahami, bahwa tujuan pemerintah mengangkat purnawirawan TNI untuk mengisi jabatan sebagai Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi, bertujuan agar Indonesia dapat melawan dan membasmi radikalisme sampai ke akar-akarnya.

)* Penulis adalah warganet, tinggal di Tangerang

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih