Mendukung Pembubaran Ormas Anti Pancasila
Oleh : Raditya Rahman )*
Proses perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) masih menemui jalan terjal. Hal itu seiring ditemukannya konsep khilafah dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) FPI yang jelas bertentangan dengan Pancasila. FPI juga masih dianggap sebagai kelompok yang sering berbuat onar dan main hakim sendiri, sehingga sudah sepatutnya untuk dibubarkan.
Dalam suatu keorganisasian, perencanaan AD/RT dianggap memiliki peranan yang cukup penting. Karena hal itu akan menjadi landasan kerja dan sebagai sistem keamanan dalam bekerja. Agar kinerja dalam sebuah organisasi makin terarah. AD sendiri memiliki pengertian berupa anggaran dasar dimana didalamnya tertuang pola dasar atau rule of law guna menjalankan roda ke-organisasian. AD memiliki sifat global, artinya hanya menerangkan secara mekanisme saja. sedangkan ART: yang berupa anggaran rumah tangga bersifat secara spesifik menjelaskan apa saja yang ada dalam AD, bahkan juga mendetailkan sesuatu yang tidak dikupas dalam AD. Jika dalam pelaksanaan AD/RT ini keruh bagaimana Organsisasi mampu berjalan dengan baik?
FPI yang terkenal dengan ormas Islam yang cukup besar di Indonesia ini tengah tersandung masalah. Pasalnya, polemik AD/RT dalam tubuh organisasinya dinilai menyimpang. Berdasar isi pasal 6 pada Ketetapan Munas III FPI Tahun 2013 nomor: TAP/06/MNS-III/FPI/SYAWWAL/1434 H dan dituangkan dalam ART FPI. Memiliki maksud
“Menegakkan negara khilafah Islamiyah di zaman ini bukan dengan menghapus NKRI dan negara-negara Islam lainnya seperti Saudi, Mesir, Yaman, Turki, Pakistan, Malaysia, Brunei dan sebagainya. Namun, dengan mensinergikan hubungan kerja sama semua negara Islam, khususnya anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), guna menghilangkan semua sekat yang ada di antara negara-negara tersebut.
Hal itu ditengarai yang menjadi salah satu alasan Kemendagri, Tito Karnavian tak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk FPI. Tito, menilai jika Ormas Islam ini tak menjelaskan klausal penyelesaian konflik internal di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Namun, hal tersebut dibantah oleh Ketua umum FPI, Sobri Lubis, yang balik mempertanyakan pernyataan Tito. Dirinya mengklaim bahwa klausul sudah jelas, hanya saja terdapat konflik. Ia juga menegaskan bahwa perampungan masalah dalam tubuh FPI telah dilimpahkan kepada Islam, yang mana FPI sendiri menganut sistem imamah. Sehingga jika terdapat suatu masalah, maka sang Imam inilah yang akan bertindak untuk menyelesaikannya.
Sebelumnya Direktur Organisasi Masyarakat Kemendagri Lutfi juga mengatakan, bahwa FPI belum memuat salah satu AD/ART yang diwajibkan dalam undang-undang. Sebab, menurutnya dalam AD/ART wajib memuat kalausal tentang penyelesaian konflik internal. Dia menganggap jika pemuatan klausul tersebit terkendala mekanisme Munas yang hanya bisa dilaksanakan 7 tahun sekali. Yang malah kemudian mempersulit FPI sendiri.
Sejalan dengan pernyataan Lutfi, FPI mengakui terdapat konsep khilafah nubuwwah dalam AD/ART-nya, sehingga belum diberi rekomendasi dari Kementerian Agama, terkait SKT (Surat Keterang Terdaftar). FPI bahkan, belum membuat pengajuan kembali permohonan perpanjangan SKT itu. Agaknya 6 pasal dalam AD/RT nya bermasalah sehingga mandeg di departemen Agama.
FPI telah berencana untuk menjelaskan secara eksplisit terkait khilafah nubuwwah ke Kemenag, agar surat rekomendasi segera diterbitkan. Juru bicara FPI, Slamet Maarif menyebut Kemenag kurang memahami soal khilafah nubuwwah. Slamet bahkan merasa dihambat oleh pihak Kemenag dalam melengkapi berkas-berkas guna mengajukan permohonan perpanjangan SKT ke pihak Kemendagri.
Belum dikeluarkan SKT hingga adanya saran agar ormas Islam ini bubar bukan tanpa alasan. Diketahui dalam AD/ART, FPI ingin menempuh 10 langkah guna merealisasikan khilafah nubuwwah. Salah satunya ialah, FPI ingin meningkatkan fungsi dan peran Organisasi Konferensi Islam (OKI). Selain itu, FPI ingin membentuk pasar, parlemen, beserta wacana pakta pertahanan bersama dunia Islam.
Termasuk akan menyeragamkan penggunaan mata uang, yakni dinar. Kemungkinan, hal tersebut dinilai oleh Kemenag akan memunculkan masalah sehingga tak kunjung merestui SKT FPI. Presiden Jokowi sendiri juga sempat menyinggung nasib SKT FPI sebagai ormas yang tak segera diperpanjang. Jokowi menambahkan, jika pemerintah bisa saja tidak memperpanjang SKT apabila FPI dianggap mengancam ideologi dan juga keamanan negara.
Dilihat dari satu langkah FPI untuk mewujudkan Nubuah saja logikanya, bagaimana bisa dalam suatu negara memiliki dua mata uang yang berbeda? Itu baru satu, bagaimana dengan sembilan langkah lain? Wajar saja pihak Kemenag memperlambat penerbitan SKT ormas Islam ini, pun dengan pernyataan Presiden yang mana tak akan mengeluarkan perpanjangan SKT karena menyimpang dari ideologi serta mengancam keamanan negara. Termasuk wacana mendirikan Khilafah Islamiyah.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik