Menelusuri Aliran Dana Suap Megaproyek Meikarta
Oleh : Aldo Indrawan *)
Megaproyek Meikarta terjerat kasus suap penyalahgunaan izin lahan. Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bekasi, Neneng Hasahan Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro sebagai tersangka.
Keberadaan Meikarta sendiri punya rekam jejak yang panjang. Pada 1994, Lippo Cikarang mendapatkan izin pencadangan tanah untuk kegiatan industri. Seiring berjalannya waktu, Lippo mempunyai niat untuk membangun kota baru dengan mendirikan 100 gedung untuk apartemen dan perkantoran. Maka diusulkanlah Meikarta dengan modal Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas 84,6 hektare.
Lalu pembangunan proyek ini tersangkut kontroversi. Pada Mei 2017, bermodalkan IPPT, Lippo memasarkan produknya melalui sekitar 10.000 agen dan 10 stasiun televisi. Hal itu dinilai telah melanggar beberapa peraturan. Namun Lippo beralasan bahwa hal tersebut merupakan pre-project selling dan sama sekali belum memasuki tahap pemasaran.
Kegiatan Lippo sudah berhasil menarik minat sekitar 32.000 orang untuk melakukan cicilan. Padahal proyek Meikarta belum memenuhi berbagai syarat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Salah satu persyaratan yang belum terpenuhi adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Kemudian pada 14-15 Oktober 2018, KPK melakukan operasi tangkap tangan di wilayah Kabupaten Bekasi dan Surabaya. Berdasarkan hasil pengembangan dari penangkapan itu, Bupati Bekasi atas nama Neneng Hasanah Yasin ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Tersangka lain sebagai pihak yang diduga pemberi suap adalah Direktur Operasional Grup Lippo atas nama Billy Sindoro.
KPK menduga Pemkab Bekasi telah memuluskan sejumlah perizinan pada fase pertama yakni lahan seluas 84,6 hektare untuk pembangunan Meikarta. Atas jasanya itu Bupati Neneng dan kawan-kawan diduga telah menerima fee atau upah sebesar Rp 13 miliar, namun hanya terealisasi sebesar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas. Uang tersebut diduga diberikan dari pihak Lippo Group yakni Billy Sindoro bersama sejumlah konsultan Lippo Group.
Selain Neneng dan Bily, KPK juga menetapkan 7 orang lainnya, yakni 2 konsultan Lippo Group yang bernama Taryadi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group atas nama Henry Jasmen.
Selanjutnya Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bekasi atas nama Jamaludin, Kepala Dinas Damkar Bekasi bernama Sahat MBJ Nahar, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Bekasi atas nama Dewi Tisnawati, serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi bernama Neneng Rahmi.
KPK menduga Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen sebagai pemberi suap. Mereka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a/b atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara itu Neneng, Jamaludin, Sahat, dan Dewi yang diduga menerima suap. Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a/b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Neneng juga mendapat pasal tambahan karena diduga sebagai penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Melihat seluruh permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa kasus suap yang dilakukan petinggi Lippo Group kepada sejumlah pejabat Pemkab Bekasi terkait izin proyek Meikarta dilakukan secara terorganisir dan sudah direncanakan sejak lama. Selain itu keterlibatan sejumlah kepala dinas dalam kasus Meikarta mengindikasikan bahwa terjadi korupsi secara terstruktur.
Pengamat politik Emrus Sihombing menilai, adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap beberapa oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak swasta terkait pembangunan proyek Meikarta tersebut mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.
KPK dianggap telah membuktikan bahwa mereka telah melakukan pekerjaannya tanpa pandang bulu. Keberhasilan KPK melakukan OTT ini juga mendapat dukungan dan apresiasi dari berbagai kalangan di masyarakat dan sekaligus menunjukkan kinerja KPK sangat luar biasa dan independen. Publikpun yakin dengan KPK bahwa hal tersebut sudah dan akan berproses ke depan secara objektif sesuai dengan koridor hukum tindak pidana korupsi.
*) Penulis merupakan pemerhati sosial politik di Jakarta.